Kamis, 01 April 2010

Tahukah anda? : April Mop, Tragedi Pembantaian Umat Islam Spanyol


Setiap kali menjelang tanggal 1 April, banyak diantara kita begitu terbawa dengan budaya 'pandang ke barat', dan mereka menjadi begitu sibuk sekali. Kepala mereka penuh dengan rencana dan mencari mangsa-mangsa untuk dipermain-mainkan. Bahkan sewaktu sedang bekerja atau sedang makan pun kepala mereka mencari cara dan membuat rencana 'penganiayaan' ini.

Tiap tanggal 1 April, ada saja orang—terutama anak-anak muda—yang merayakan hari tersebut dengan membuat aneka kejutan atau sesuatu keisengan. April Fools Day, demikian orang Barat menyebut hari tanggal 1 April atau lebih popular disebut sebagai ‘April Mop’. Namun tahukah Anda jika perayaan tersebut sesungguhnya berasal dari sejarah pembantaian tentara Salib terhadap Muslim Spanyol yang memang didahului dengan upaya penipuan? Inilah sejarahnya yang disalin kembali sebagiannya dari buku “Valentine Day, Natal, Happy New Year, April Mop, Halloween: So What?” (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2005)

Yang penting mereka ingin puas melihat muka mangsa-mangsa gurauan April Mop mereka merah padam karena dipermain-mainkan. Bagaimanapun, tanpa mereka sadari, kadang guyonan-guyonan biasa atau 'practical jokes' yang dilakukan dapat menjadikan perselisihan dan penyesalan yang berkepanjangan.

SEJARAH APRIL MOP

imagePerayaan April Mop yang selalu diakhiri dengan kegembiraan dan kepuasan itu sesungguhnya berawal dari satu tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan. April Mop atau The April’s Fool Day berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 atau bertepatan dengan 892 H. Sebelum sampai pada tragedi tersebut, ada baiknya menengok sejarah Spanyol dahulu ketika masih di bawah kekuasaan Islam.


Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad , Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Perancis. Perancis Selatan dengan mudah bisa dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walau sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah Barat yang berupa pegunungan.

Islam telah menerangi Spanyol. Karena sikap para penguasa Islam begitu baik dan rendah hati, maka banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan hanya beragama Islam, namun mereka sungguh-sungguh mempraktekkan kehidupan secara Islami. Mereka tidak hanya membaca Al-Qur'an tapi juga bertingkah laku berdasarkan Al-Qur'an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.

Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun mereka selalu gagal. Telah beberapa kali dicoba tapi selalu tidak berhasil. Dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam di Spanyol. Akhirnya mata-mata itu menemukan cara untuk menaklukkan Islam di Spanyol, yakni pertama-tama harus melemahkan iman mereka dulu dengan jalan serangan pemikiran dan budaya.


Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirim alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang baca Qur’an. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniup-niupkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.

Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan Salib. Penyerangan oleh pasukan Salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan.

Tidak hanya pasukan Islam yang idbantai, juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, semuanya dihabisi dengan sadis.

Satu persatu daerah di Spanyol jatuh, Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara Kristen terus mengejar mereka.

Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara Salib mengetahui bahwa banyak Muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah.


Dengan lantang tentara Salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar dari Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka. “Kapal-kapal yang akan membawa kalian keluar dari Spanyol sudah kami persiapkan di pelabuhan. Kami menjamin keselamatan kalian jika ingin keluar dari Spanyol, setelah ini maka kami tidak lagi memberikan jaminan!” demikian bujuk tentara Salib.

Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Beberapa dari orang Islam diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah dipersiapkan, maka mereka segera bersiap untuk meninggalkan Granada bersama-sama menuju ke kapal-kapal tersebut. Mereka pun bersiap untuk berlayar.

Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada yang keluar dari rumah-rumahnya dengan membawa seluruh barang-barang keperluannya beriringan jalan menuju pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai tentara Salib bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumahnya.

Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara Salib menggeledah rumah-rumah yang telah itinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika para tentara Salib itu membakari rumah-rumah tersebut bersama orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.


Sedang ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.

Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya.

Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The Aprils Fool Day).

Bagi umat Islam April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan saudara-saudaranya seiman disembelih dan dibantai oleh tentara Salib di Granada, Spanyol. Sebab itu, adalah sangat tidak pantas jika ada orang Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Sebab dengan ikut merayakan April Mop, sesungguhnya orang-orang Islam itu ikut bergembira dan tertawa atas tragedi tersebut. Siapa pun orang Islam yang turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, beberapa abad silam.(rizki/eramuslim)

Selasa, 23 Maret 2010

Waspada!!! Buku Islam Bermasalah

Oleh : Mamby Alice S.

Geliat pertumbuhan buku Islami di republik ini memang pantas diacungi jempol, menurut hasil pantauan saya, jumlah buku-buku bertema Islam laris manis di pasaran. Mulai dari buku anak, novel remaja, hingga tulisan-tulisan ilmiah terpajang di hampir semua gerai buku. Namun itu semua bukanlah hal yang bisa begitu saja dibanggakan. Apa pasal? Bukankah itu pertanda baik bagi kemajuan Islam? Andai buku yang tersedia memang sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah tentu saja jawabannya adalah “ya”. Namun sayang buku-buku yang semula kita kira hadir untuk memajukan Dien Alloh ini malah justru memberikan efek yang sebaliknya. Setidaknya itulah yang saya temui dalam beberapa buku. Tengok saja buku berikut :

Judul : Nabi Muhammad SAW.
Tags : Seri Cinta nabi
Penerbit : PT BIP (Jl. Kebahagiaan no.11A, Jakarta 11140)
Copyright : TIMAS Basim Ticaret Sanayi AS, 2007 Istanbul Turkey

Ilustrasi 'Muhammad Al-Amin'



Saat saya menyodorkan buku di atas kepada beberapa teman penulis nasional lewat salah satu fasilitas jejaring sosial, maka inilah respon mereka :

1. Jonru (penulis, wirausaha, internet marketer, founder situs penulislepas.com, belajarmenulis.com dan ajangkita.com) :
"Ini diambil dari buku apa? Saya kira bukan dari segi layout. Tapi dari teks yang muncul di halaman tersebut, lalu di bawah ada gambar orang seperti itu, akan muncul persepsi kuat bahwa itu gambar Nabi Muhammad. Jadi saya kira, gambar itu sebaiknya diganti saja atau dihilangkan."

2. Ali Muakhir (Penulis, Pemegang Rekor MURI sebagai penulis paling produktif se-Indonesia) :
"Setuju, visual ini bisa dikonotasikan sebagai Nabi Muhammad, kecuali itu gambar anak-anak lagi duduk yangg sedang membayangkan sesuatu (cerita nabi) misalnya, atau sekumpulan anak-anak sedang mendengarkan cerita dari seorang guru; ceritanya jadi lain."

3. Wiwid Prasetyo (Penulis buku "Orang Miskin dilarang Sekolah", Idolaku ya Muhammad saw, dll)
"Jika ini benar Nabi Muhammad akan memunculkan reaksi keras dari umat Islam"

4. Af Idah Salmah (Praktisi buku, Penulis Buku Best Seller "Juz Amma For kids"")
"Seharusnya kita bagi para pekerja buku bisa lebih berhati-hati dalam membuat buku... baik dari segi teks, lay out, maupun ilustrasi...."

Purwanti, Sales Superintendent Gramedia Pandanaran Semarang menyatakan bahwa buku itu sudah ditarik atas himbauan penerbit. Lebih jauh lagi ia jelaskan bahwa awalnya buku Nabi Muhammad SAW ini disediakan sejumlah 30 eksemplar dan laku sebanyak 3 eksemplar, sedangkan 27 eksemplar sisanya ditarik oleh penerbit.
Saya kemudian menghubungi penerbitnya di Jakarta lewat telephon, dan berhasil tersambung dengan Vidia salah satu redaksi (09:10, Senin Januari 18-2010). Kata Vidia buku ini sekarang sudah ditarik dari pasaran mulai November 2009. Hanya saja untuk langkah apa yang akan ditempuh terkait buku yang sudah terjual/laku pihak penerbit belum tahu akan berbuat apa, bahkan Vidia belum tahu kapan rapat yang diadakan redaksi penerbit tersebut berakhir. Hal ini jelas membuat kasus ini terkatung-katung.

Buku lain yang juga bermasalah

Judul : Aku Suka Sholat
Tags : Seri Muslim Cilik
Penerbit : PT BIP (Jl. Kebahagiaan no.11A, Jakarta 11140)
Copyright : TIMAS Basim Ticaret Sanayi AS, 2007 Istanbul Turkey


Sampul 'Aku Suka Sholat'




* Pada gambar anak kecil yang berada di tengah di atasnya terdapat lambang hati
warna merah entah apa maksudnya? kalaupun tak diberi gambar jantung pun tak
masalah.
* Jamaah yang berbaju kuning matanya terlihat menatap ke atas padahal seharusnya pandangan tertuju pada tempat sujud dan bukan selainnya.
* Di belakang jamaah terlihat gambar berbentuk bulat seperti jam yang tertempel di dinding bagian atas. Jika Benar gambar bulat tersebut menempel di dinding berarti bisa diartikan itu dinding Mighrab/Tempat Imam (didukung dengan efek bayangan yang ditimbulkan oleh 2 pilar yang ada).
* Bukankah lumrahnya di belakang jamaah jika kita ambil sudut pandang dari depan yang terlihat adalah pintu masjid/suasana halaman masjid?? Artinya Jamaah
tersebut sedang melakukan Sholat dengan membelakangi Kiblat. Bagaimana ini bisa
terjadi?.
***

Moga saja pihak penerbit beritikad baik serta lekas menuntaskan kasus ini, sebab kemungkinan terburuk adalah pembaca buku ini tak sadar akan kesalahan yang ada dan berpikir seperti hal-hal yang telah disebut oleh beberapa penulis di atas, dan hal itu mendatangkan sebuah bahaya. Bagaimana tak bahaya?! Pembaca (mayoritas anak) akan digiring kepada kesimpulan dimana bahwa gambar yang ada adalah Nabi Muhammad saw, dan juga tentang bebasnya memilih arah kiblat!. padahal seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa menggambar wajah Nabi Muhammad serta Kiblat sudah ada aturan mainnya dalam Islam. Naudzubillahi min dzalika.

Bagaimana Islam Memandang Masalah ini ?
1. Secara Logika.
Meski kita berdalih bahwa tujuan menggambar wajah nabi untuk kemanfaatan atau dilandasi niat baik namun tetap saja yang demikian tidak dibenarkan. Karena ini tidak sejalan dengan kaidah Saddu adz Dzaroi’ (menutup pintu kemaksiatan) dimana adanya pelarangan akan suatu hal dengan pertimbangan akan timbulnya resiko yang besar jika hal itu dilakukan. Dan lagi jika gambar itu diproduksi maka orang-orang (muslim) akan memajangnya di tiap-tiap rumah mereka sebagai sesuatu yang dikultuskan. Tengok saja fenomena gambar wali yang sedemekian rupa dikultuskan. Bukankah sebuah gambar yang dipajang dengan dasar pengkultusan hukumnya adalah haram? Begitu pula jika tujuan menggambar wajah nabi untuk menghina.

2. Menurut Hadits.
“Siapa orang yang berbohong atasku (dalam segala hal) maka bersiap-siaplah tempatnya adalah di neraka” (HR. Imam Bukhari).
Hadits di atas begitu terang benderang. Dalam konteks ini kebohongan yang dimaksud adalah “benarkah si pelukis yakin bahwa gambar yang ia lukis adalah sesuai dengan wajah nabi?” Jika si pelukis memang merasa yakin, pertanyaan selanjutnya adalah “apakah pernah si pelukis melihat wajah nabi?” Jika jawabannya “tidak” maka itulah bentuk kebohongan/dusta.

3. Menurut Ijma
Jikalau dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tak disebutkan haramnya menggambar wajah nabi, maka kita perlu mencari tahu apa kata ulama dalam perkara ini. Sebab selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam Islam ada Ijma (kesepakatan ulama) dan Qiyas. Dalam hal ini Ijma ulama adalah haram hukumnya menggambar wajah Nabi Muhammad saw.

Kiranya kita berpatokan pada empat dasar hukum tersebut dan bersikap secara bijak.*

sumber dari:
http://www.muslimdaily.net/artikel/ringan/5286/waspada!!buku-islam-bermasalah]

Kamis, 24 Desember 2009

Asal-muasal Zionisme Modern

Ideologi Zionisme Modern berakar pada pemikiran seorang Yahudi Mesiah palsu bernama Sabbatai Zevi dalam abad ke-17, ia mengklaim dirinya sebagai juru selamat Yahudi yang dijanjikan, ia datang untuk mendirikan kerajaan Yahudi di tanah yang dijanjikan di Palestina.

Zevi adalah seorang tokoh yang sangat kontroversial, dia tidak hanya menolak Talmud tetapi memerintahkan untuk melakukan apa yang bertentangan dengan perintah Tuhan di dalam Talmud. “Dosa” dan “kesalahan” tidak ada lagi dan segala sesuatu serta apa pun diperbolehkan, perintah-perintah Tuhan di dalam Taurat sekarang dibatalkan, karena neurut Zvi, zaman mesiah telah tiba dan dialah orangnya yang akan melakukan penyelamatan terhadap mereka.

Sebagaimana ditulis oleh Jerry Rabow dalam bukunya berjudul “50 Jewish Messias” diterbitkan oleh Gefen di Jerusalem, (sumber Barry Chamish): “Melalui semua ini, Shabbatai Zevi terus mengeluarkan pernyataan mengenai perubahan teologis yang dilakukannya sehubungan dengan kedatangan zaman messiah. Kebaktian baru Shabbatai adalah, ‘Pujian kepada-Nya yang membolehkan yang terlarang.”

Ketika segala sesuatu akan diizinkan pada zaman messiah, Shabbatai mengumumkan bahwa banyak dari pembatasan-pembatasan sebelumnya dalam Taurat tidak lagi diterapkan lagi. Dia menghapuskan hukum mengenai hubungan seksual. Dia secepatnya mengumumkan bahwa sejumlah tigapuluh enam jenis dosa utama yang dimuat dalam kitab Bibel saat ini diizinkan dan memerintahkan sebagian dari pengikut-pengikutnya bahwa adalah tugas mereka untuk melakukan beberapa dosa dalam rangka untuk mempercepat penyelamatan “

Zevi atau Zvi adalah seorang kabbalis dan okultis yang menipu sebagian besar Yahudi pada waktu itu dan yang datang kemudian. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Agustus 1626, di Smyrna, Turki. Pada tahun 1666 dia pindah agama dan memeluk Islam bersama-sama dengan sebagian dari pengikut-pengikutnya dan mengganti namanya dengan Aziz Mehemet.

Sebagian besar Yahudi dikecewakan dengan tindakannya ini, akan tetapi dia mengatakan kepada mereka bahwa dia harus menjadi Muslim dalam rangka untuk memurtadkan orang-orang Muslim mengajaknya kedalam agama Yahudi, namun sebaliknya, kepada Sultan dan orang-orang Turki menceritakan bahwa dia harus tetap melakukan hubungan yang erat dengan Yahudi dalam rangka untuk memurtadkan Yahudi dan mengajaknya masuk kedalam agama Islam. Dengan demikian Zevi bebas untuk pergi kemanapun dan melakukan apapun yang ia sukainya.

Shabbatai Zvi, Nathan Ghazzati sang nabi dan Jacob Frank

Perihal Zevi diungkapkan kepada orang-orang Turki oleh mesiah Yahudi lain dari Polandia. Zevi menyatakan kepada mesiah dari Polandia mengenai nubuwatan yang diberikan oleh orang kepercayaannya, Nathan Ghazzati sang nabi, bahwa Zevi ditakdirkan untuk menjadi penguasa Kekaisaran Ottoman. Akibatnya, Zevi diasingkan ke sebuah desa kecil di Albania dimana disana ia mati. Akan tetapi para pengikut Shabbatai sungguh kemudian menjadi penguasa sebenarnya di Turki modern, sekalipun hanya melalui cara halus yang tidak nampak.

Pengaruh Zevi di antara Yahudi tidak hilang dengan kematiannya, banyak orang Yahudi mempercayai si jago tipu-muslihat ini yang menghalalkan tipu-daya sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuannya. Kemudian. seorang rabbi ekstrem bernama Rebbe Berechiah menggantikan peran Zevi dan mengambil-alih gerakan Shabbataisme.

Barry Chamish dalam sebuah artikelnya berjudul “Deutsch Devils,” (Desember 31, 2003), dalam situsnya (barryChamish.com) mengatakan bahwa “para pengikut Shabbatai melanjutkan kehidupan kelompok mereka dengan sembunyi-sembunyi di dalam sebuah sekte Donmeh di Turki, kegiatan mereka berlanjut sampai dengan hari ini, sebagaimana dilaporkan secara ekstensif pada tahun ini, bahkan dilaporkan pula oleh the Jerusalem Post. Salah seorang pengikut Donmeh adalah Jacob Frank (1726-1726), yang akan mentransformasikan Eropa dan dunia ke dalam sebuah neraka Shabbataian, setidaknya setelah satu abad kemudian.”

Jakob Frank kemudian menggantikan Rebbe Berechiah dan dalam abad kedelapan belas membawa ideologi Donmeh ke Eropa. Dia membuat sebuah persekutuan di dekat Frankfurt, Jerman, dengan seorang Jesuit bernama Adam Weishaupt dan kerajaan Rothschild. (Adam Weishaupt adalah pendiri Illuminati dan perampas kekuasaan atas loji-loji Freemasonic di seluruh dunia, khususnya loji-loji di Inggris serta Scotlandia).

Barry Chamish, di dalam artikel tersebut di atas, ia mengutip ucapan Rabbi Antelman yang menjelaskan didalam bukunya ” To Eliminate the Opiate: ” bahwa “Sebuah gerakan yang sepenuhnya pengikut setan saat ini sedang memegang peran”. Tujuan Jesuit adalah menghancurkan agama Reformasi Protestan yang mendorong dikembalikannya kedudukan seorang paus yang diberikan kewenangan penuh untuk menghakimi terhadap seluruh umat manusia.

Sedangkan tujuan keluarga Rothschild adalah untuk melakukan kontrol terhadap kekayaan dunia. Sementara visi Frankist adalah membinasakan etika Yahudi untuk menggantikannya dengan sebuah agama yang benar-benar bertentangan dengan kehendak Tuhan atau [Setanisme kelas atas]. Ketika fraksi ini bersatu, meletuslah peperangan demi peperangan berdarah melawan kemanusiaan, dengan Yahudi di garis terdepan”

Dalam sebuah buku berjudul “The Messianic Idea in Judaism” ditulis oleh profesor Yahudi Gershon Scholem (edisi 1971, halaman 126) pengarang menulis tentang Jacob Frank sbb: “Dalam semua tindakannya [Jacob Frank] bertindak sebagai seorang yang sungguh-sungguh sangat jahat dan merosotkan moral dan etika individu” dan sebagai “salah satu dari fenomena yang paling menakutkan dalam keseluruhan sejarah Yahudi.”

ImageJacob Frank menganggap dirinya sebagai seorang messiah. Dia mengaku sebagai titisan dari kepala keluarga Yahudi, Jacob. Dia memerintahkan kepada k.l. 13,000 orang pengikut-pengikutnya untuk berpura-pura memeluk agama Katholik dan melakukan infiltrasi di dalam gereja Katholik. Dia menunjuk Katholik sebagai “Esau,” saudara Jacob menurut kitab Bibel, sementara dia dan para pengikut-pengikutnya mengaku sebagai bagian dari Jacob menurut kitab Bibel.

Kepada pemeluk agama Kristen Katholik dia menceritakan bahwa sudah waktunya untuk melakukan sebuah rekonsiliasi antara “Jacob” dan “Esau.” Sementara itu dia mengatakan kepada para pengikut-pengikutnya secara rahasia, bahwa mereka berperan sebagai Jacob yang menipu Esau sebagaimana dalam cerita Alkitab, sehingga melalui cara penipuan ini, kata Jacob, kita akan mendirikan sebuah kerajaan Yahudi yang anti-kristus di wilayah Palestina.

Rabow, dalam bukunya pada halaman 130 menyebutkan bahwa: “para pengikut Frankis juga melibatkan diri dalam berbagai intrik politik internasional, dan mengirimkan utusan rahasia kepada pemerintah Russia serta Gereja Ortodoks Ketimuran menawarkan untuk membantu menggulingkan pemerintah Polandia serta Gereja Katholik.”

Jerry Rabow menggambarkannya lebih rinci dalam bukunya “50 Jewish Messiahs” (sumber Barry): “Dia [Frank] memperluas pengajaran paradoks Shabbatai Zevi bahwa dengan datangnya zaman messiah telah terjadi transformasi Alkitab mengenai larangan hubungan seksual menjadi dibolehkan dan bahkan merupakan sebuah kewajiban. Menurut Frank, melibatkan diri kedalam sebuah pesta-pora seks sekarang menjadi cara atau jalan untuk melakukan pensucian jiwa dari dosa-dosa.

Penyelewengan susila menjadi sebuah terapi … Frank meyakinkan para pengikut-pengikutnya bahwa hanya ada satu jalan bagi agama Yahudi yang mereka yakini untuk tetap bertahan adalah dengan cara berpura-pura secara lahiriah memeluk agama Kristen, sebagaimana dilakukan oleh Yahudi Donmeh, berpura-pura memeluk agama Islam.

Dalam bulan Pebruari 1759, para pengikut Frank menyatakan kepada Gereja Katholik bahwa mereka siap untuk di baptis.”

Pada halaman 121 buku Rabow, disebutkan bahwa: “Donmeh sekarang telah merubah Shabbatain Purim ke dalam sebuah pesta-pora seks tahunan, ketika para anggotanya saling bertukar pasangan dalam sebuah upacara yang disebutnya sebagai ‘memadamkan cahaya -extenguishing the lights.’ Donmeh menjustifikasi pesta pora seks Purim, dan mereka juga secara reguler mempraktekan aktivitas hubungan seks lainnya dengan saling bertukar pasangan istri-suami dengan memuji keteladan kitab Bibel

The Jewish Encyclopedias mendefinisikan Donmeh sebagai “sebuah kata Turki untuk ‘orang murtad’ dan mengacu kepada Yahudi dari Timur Dekat pengikut Sabbatai Zevi yang memeluk agama Islam pada tahun 1666, tetapi dengan diam-diam mereka masih mempraktekan ajaran dan upacara agama Yahudi, menyembah Sabbatai sebagai Mesiah dan titisan Tuhan.”

Peneliti lain mengatakan bahwa: “Sikap Yahudi Donmeh kepada publik Turki memperlihatkan kasih sayang yang besar kepada Islam, akan tetapi di kalangan mereka, seluruhnya menolak Islam bahkan meremehkannya.” Tidak perlu dikatakan lagi bahwa di Kekaisaran Ottoman mereka juga secara diam-diam dan bahkan lebih membenci serta meremehkan agama Kristen.

Sama seperti yang dilakukan oleh “Turki” Donmeh yang berkuasa di Turki sewaktu Perang Dunai I ketika terjadi Genosida atas suku bangsa Armenia. Mereka adalah para penguasa Kekaisaran Ottoman dan merekalah yang melaksanakan serta memberikan perintah untuk melakukan pembantaian — dengan cara paling kejam yang tidak pernah terpikirkan dalam benak manusia sesuai dengan rencana yang telah mereka buat untuk membantai — hampir semua penduduk Kristen di Asia Kecil: Satu Setengah Juta orang Armenia, setengah juta orang Yunani dan Yunani Pontian serta setengah juta orang Asyria dan Caldean.

Pengarang Turki, Mevlan Z. Rifat, mengacu pada sekte Donmeh dan dikatakannya sebagai “sebuah sekte sinkretis Yahudi-Muslim,” yang ditulis dalam bukunya berjudul “Inner Folds of the Ottoman Revolution” 1929.– “Genosida bangsa Armenia diputuskan pada bulan Agustus 1910 dan Oktober 1911 oleh seorang anggota Komite Turki Muda, dimana keseluruhan anggota komite adalah Yahudi Balkan dalam bentuk sekte sinkretis Yahudi-Muslim, termasuk di dalamnya adalah Tallat, Enver, Behaeddin Shakir, Jemal dan Nazim, mereka bergaya dan bersikap seperti orang-orang Muslim.

Hal itu sesuai dengan loji Grant Orient yang didanai oleh Rothschild di Yunani Salonika. Oleh karena itu tidaklah heran infrastrukturnya disusun dalam bulan Agustus 1914 di Erzerum untuk merencanakan Pembantaian Besar-besaran – Great Massacres, hampir tiga bulan sebelum Turki terlibat ke dalam Perang Besar. Selama Perang Dunia I, Yahudi menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan Turki yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, termasuk anggota sekte sinkretis Yahudi-Muslim adalah tiga orang presiden Turki, yaitu Ataturk, Inonu, dan Bayar.” Tidak diketahui apakah buku karangan Rifat tersedia terjemahannya dalam bahasa Inggris atau tidak, namun buku itu sudah diterjemahkan kedalam bahasa Armenia pada tahun 1939.

Seorang ilmuwan Yahudi bernama Avrum M. Ehrlick, menulis buku dengan judul “Sabbatean Messianism As Proto-Secularism” (sumber, tulisan Berry, Kerry, Gaza and the New Sabbatean Holocaust): “Dr Nazim, Nuzhet Faik, Mustafa Arif, Muslihiddin Adil, Sukru Bleda, Halide Edip Adivar dan Ahmet Emin Yalman mereka semuanya aktif di dalam gerakan Turki Muda serta berasal dari keluarga Yahudi Donmeh.

Mehmet Kapanci (1839-1924) seorang walikota Salonica dan pemilik bank terkenal yang membiayai C.U.P [beberapa orang Armenia adalah anggota mason dan bagian dari the Committee of the Union and Progress Party sebelum terjadinya Genosida] dan berasal dari Yahudi Donmeh.

Yahudi lainnya yang aktif di dalam gerakan Turki Muda adalah Nissim Mazliah dari Izmir dan Vitali Faradji, Moise Cohen (juga dijuluki Munis Tekinalp) adalah Yahudi yang aktif dan pernah menjadi mahasiswa kerabbian kemudian beralih menjadi pebisnis serta dengan aktif menyatakan kebanggaan identitasnya sebagai seorang Turki dengan sentimen/perasaan Zionis … Adalah aneh bahwa Perdana Menteri Israel pertama dan kedua, yaitu David Ben Gurion dan Moshe Sharett serta Presiden kedua Israel Yitzchak Ben Zvi pernah tinggal serta belajar di Istambul dan memeluk konsep ‘lehitatmen’, yang dalam bahasa Ibrani artinya adalah ‘untuk menjadi seorang Ottoman’. Ben Zvi dikatakan orang sebagai keturunan dari keluarga Sabbatean. Sharett bertugas pada angkatan darat Ottoman dalam Perang Dunia I.

Ben Gurion pindah kewarganegaraan Russia menjadi warganegara Ottoman, mereka takut melakukannya di Palestina. Presiden Israel Ben Zevi, Zalman Shazar dan status yang lebih rendah lainnya seperti Yitzchak Navon, mereka menjadi mahasiswa Ottomanism. Mehmet Cavit Bey (1875-1926) adalah salah seorang tokoh politik Yahudi Donmeh yang paling penting. Dia aktif dalam revolusi pada tahun 1908, ia juga sebagai seorang editor sukses sebuah tabloid dan profesor keuangan serta pernah menjadi Menteri Keuangan selama tiga periode dalam pemerintahan Turki Modern sampai dieksekusi karena diduga keras berperan dalam usaha pembunuhan Ataturk. Cavit Bey adalah seorang Zionis yang paling bersemangat yang dapat melihat keuntungan-keuntungan bagi Turki di pemukiman Yahudi di Palestina.”

Kemal AttaturkAvrum Ehrlich menguraikan secara terperinci dalam bukunya yang sama : “Tingkat keterlibatan Yahudi dalam revolusi gerakan Turki Muda diperdebatkan, beberapa membantah bahwa Yahudi dan Yahudi Donmeh mendominasi the Committee of the Union and Progress Party (C.U.P) yang menguasai Negara. Yang lainnya berpendapat bahwa hal ini adalah retorika anti-Yahudi dan terlalu melebih-lebihkan, sementara itu Yahudi mendukung revolusi di tingkat lapisan bawah, mereka tidak benar-benar terwakili di eselon partai.

Menurut diplomat Inggris yang melaporkan kepada pemerintahnya menjelaskan bahwa ada sebuah komplotan konspirasi Yahudi-Masonik yang bekerja menguntungkan revolusi. Donmeh dipercaya sama-sama terlibat dalam revolusi, akan tetapi detilnya yang pasti sedikit diketahui karena sejumlah alasan-alasan … Adalah melalui loji Masonik-lah bahwa Donmeh, Yahudi dan Bektashi serta kaum sekuler, mereka yang kurang diterima dalam lingkungan mainstream masyarakat, namun kemudian mereka mampu mendapatkan pijakan yang sejajar, dan banyak dari mereka menjadi instrumen penting dari revolusi. … Dalam hubungan ini, benar atau tidaknya, terdapat kecurigaan bahwa Masonry bertanggungjawab atas hasutan dan aktivitas-aktivitasnya yang bersifat subversif, memang Turki waktu itu merupakan tempat yang sesuai untuk sebuah revolusi, menyediakan loji dan personilnya, kerahasiaan serta kerangka untuk revolusi.

Donmeh tumbuh subur di lingkungan Masonik, membiarkan mereka secara rahasia maupun untuk mempengaruhi, memelihara ide-ide religius mereka dalam sebuah atmosfir yang non-dogmatis. Menghilangkan perbedaan antara Yahudi dan orang-orang Muslim, mereka tampak merepresentasikan kepuasan yang dikompromikan dari sebuah revolusi sekuler Turki Muda. Sampai hari ini Donmeh terlibat dalam Loji-loji Masonik Turki.”

Barry Chamish percaya bahwa Genosida Bangsa Armenia adalah sebuah pengulangan Holokos Yahudi. Berry adalah mantan seorang anggota militer Israel dan beralih profesi menjadi seorang wartawan investigasi, ia sudah memberikan peringatan kepada sesama orang Yahudi mengenai akan terjadinya sebuah Holokos Kedua Yahudi yang waktunya sesuai dengan yang direncanakan Israel. Saat ini bangsa-bangsa Arab dan orang-orang Muslim memainkan peran Nazi Jerman sewaktu Perang Dunia II.

Penelitian Barry menyampaikannya kepada fakta, bahwa baik para perencana maupun penghasut Genosida bangsa Armenia dalam Perang Dunia II itu pada dasarnya sama dengan perencana dan penghasut Holokos Yahudi pada waktu Perang Dunia II, dan mereka sedang merencanakan holokos Yahudi lainnya saat terjadi Perang Dunia III, yang direncanakan disulut di Timur Tengah.

Jangan menuduh pengarang artikel ini sebagai seorang anti-Semit, dia akan menjadi orang pertama yang datang untuk membantu setiap orang Yahudi yang hidupnya dalam keadaan bahaya. Juga, dia bukan seorang pembenci, hatinya penuh dengan cinta-kasih terhadap sesama.

Dia juga bukan seorang pendusta, dia tidak akan melakukan kedustaan dengan sengaja; sekarang dia seorang tua yang ayahnya termasuk salah seorang yang selamat dari Genosida bangsa Armenia 90 tahun lalu dan dia sedang berusaha untuk menemukan fakta apa yang sebenarnya terjadi, karena keadilan di muka bumi ini belum menyentuh terhadap Genosida Armenia dan isunya tidak pernah akan mati. Tidak bisa disapu di bawah permadani sebagaimana dilakukan oleh Turki dan sekutu mereka sedang berusaha untuk melakukan hal yang sama.

Sebagaimana dikatakan oleh President Putin sewaktu melakukan kunjungan pertamanya ke Israel: “Dalam abad ke-21, di masa mendatang tidak ada lagi tempat untuk penyakit xenophobia – benci pada asing, anti-Semitisme atau bentuk-bentuk lain daripada ketidak-toleranan rasial atau religius. Hal ini bukan hanya merupakan hutang kita kepada jutaan yang mati di dalam kamar-kamar gas [dan dapat saya tambahkan, dalam medan pembunuhan Armenia yang bersejarah], adalah tugas kita untuk generasi yang akan datang.”(konspirasi/sbl)

The Origins Of Modern Zionism

Jumat, 18 Desember 2009

Selamat Tahun Baru 1431 Hijriah

Kami segenap pengurus dan admin mengucapkan selamat tahun baru 1431 hijriah, semoga kita semua menjadi orang2 yang senantiasa memperbaiki diri, beramal, bersyukur dan selalu berjuang di jalan ALLAH tuk meneggakkan islam di mana saja. mohon maaf jika selama ini kami ada kesalahan.

SELAMAT TAHUN BARU 1431 H.

Minggu, 13 Desember 2009

Gaya Kompas Mengobarkan Permusuhan

KH Cholil Ridwan menilai Kompas memang menjadi alat Katholik atau missi zending. “Jadi apa-apa yang merugikan umat Islam pasti dimuat, termasuk tulisan yang menyerang MUI,” tegasnya.

Untuk kesekian kalinya Harian Kompas kembali memuat tulisan yang yang sangat tendensius tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tulisan tendensius tentang MUI ini dimuat di Kompas edisi Senin, 8 September 2008, halaman 44, di rubrik Bentara, melalui tulisan Sumanto Al Qurtuby dengan judul, “Mendesain Kembali Format Dialog Agama” .

Sumanto menulis, “Menariknya, ma-sih menurut Rumadi, dalam peristiwa kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan.

MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok keaga-maan yang terbelah justru menjadi ”polisi agama” yang ikut menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan ”oase spiritual” bagi umat manusia apapun agama dan keyakinan mereka seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW justru ikut menjadi pembakar amarah massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang anti-dialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang ”dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri.”

Pemuatan tulisan yang menyerang MUI ini tentu bukan karena unsur ketidaksengajaan. Berkali-kali harian yang diterbitkan oleh kelompok Katholik ini melakukan hal serupa. Sikap tersebut tampaknya memang sudah menjadi ideologi Kompas selama ini.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan menilai Kompas memang menjadi alat Katholik atau missi zending. “Jadi apa-apa yang merugikan umat Islam pasti dimuat, termasuk tulisan yang menyerang MUI,'' tegasnya kepada SI. Seharusnya jika harian itu menggunakan kaidah jurnalistik yang benar, ada klarifikasi terlebih dahulu dari pihak-pihak yang akan dirugikan dari tulisan tersebut.

Ia menjelaskan, kini banyak pihak menjadi kepanjangan tangan kepen-tingan Barat yang anti Islam. Mereka dibayar untuk melakukan itu. “Jadi kalau mereka tidak anti MUI, tidak menyerang MUI maka berarti mereka tidak melak-sanakan tugasnya. Mereka tidak akan dapat proyek baru lagi. Saya kira itu yang bisa kita pahami,'' tuturnya.

Menanggapi tulisan Sumanto yang menuding MUI sebagai sumber keke-rasan, KH Cholil tidak bisa menerimanya. Ia kemudian mengilustrasikan rusuh musik di Bandung yang menewaskan 10 orang atau rusuh di Maluku Utara serta rusuh di berberbagai daerah yang tidak pernah dibicarakan. “Semata-mata mere-ka memang sudah antipati terhadap MUI. Dia orang Islam yang tidak pernah mau membela Islam. Tapi dia orang Islam yang menjadi kepanjangan kaki tangan Barat,” tegasnya seraya menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara fatwa MUI dengan kekerasan.

Jejak Kekurangajaran
Dalam kasus eksekusi mati Tibo dan kawan-kawan, misalnya. Kompas hampir seratus persen menjadi corong mereka yang menolak eksekusi mati tersebut, sebagaimana tercermin melalui berbagai opini yang dipublikasikannya.

Dalam pemberitaannya, Kompas hampir tidak pernah memberikan ruang bagi mereka yang pro eksekusi mati Tibo dkk. Padahal, sudah jelas Tibo dkk membunuh ratusan santri Ponpes Wali-songo, Poso, dengan tangannya sendiri. Dalam hal Tibo dkk hanyalah wayang yang dimainkan aktor intelektual, itu lain persoalan. Yang jelas secara pidana Tibo dkk memang terbukti membantai ratusan orang.

Keberpihakan terhadap mereka yang kontra eksekusi mati Tibo, menunjukkan bahwa sebagai media nasional Kompas tidak punya hati nurani. Harian itu bukan saja meng-abaikan amanat hati nurani rakyat yang menjadi mottonya, tetapi juga telah melukai rasa keadilan umat Islam

Contoh lain, dalam kasus pro-kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Kompas jelas-jelas meng-ambil posisi kontra RUU-APP. Berbagai pemberitaan yang berkenaan dengan itu memperlihatkan dengan jelas bahwa harian itu diskriminatif. Opini yang ditampilkan juga berpihak. Misalnya, Kompas edisi 29 Maret 2006 menam-pilkan opini Siswono Yudhohusodho berjudul Negara dan Keberagaman Budaya. Siswono yang pada intinya menolak RUU APP karena meng-anggapnya salah satu produk hukum yang sangat beraroma Syari'at Islam. Menurut Siswono,


”...Sebagai konsekuensi negara kesatuan (unitarian) yang menempatkan seluruh wilayah negara sebagai kesatuan tunggal ruang hidup bangsa, sebuah RUU juga harus didrop bila ada satu saja daerah yang menyatakan menolaknya karena tidak cocok dengan adat istiadat dan budaya setempat. RUU APP sudah ditolak di Bali dan Papua.”

Majalah Risalah Mujahidin menilai argumen Siswono jelas terlihat dungu. Ia tidak saja mengabaikan konsep demok-rasi, tetapi mendorong munculnya tirani minoritas atas mayoritas. Bukankah Bali dan Papua minoritas? Melalui opininya itu, Siswono sengaja menekankan supaya umat Islam yang mayoritas bila hendak membuat aturan bagi umat Islam, harus terlebih dulu meminta persetujuan ma-syarakat Bali dan Papua. Bila mereka menolak, berarti aturan itu harus juga ditolak sebagai konsekuensi dari konsep unitarian (negara kesatuan). Sebaliknya, bila orang Papua mau berkoteka, atau bila umat Hindu Bali mau menjalankan ritual musyriknya serta memaksakan pene-rapan 'syariat' Hindu kepada non Hindu di Bali, itu harus didukung dalam rangka melestarikan keluhuran budaya bangsa.

Logika seperti itu, dipublikasikan Kompas tentu bukan tanpa maksud. Tidak bisa disalahkan bila ada yang menafsirkan hal itu dilakukan Kompas dalam rangka memprovokasi umat Islam Patut juga dipertanyakan, apa kualifikasi yang dimiliki Siswono sehingga gagasan dan logikanya layak ditampilkan di harian tersebut dan dalam rangka mewakili kalangan siapa?

Ketika wacana Perda Syari'at menge-muka, Kompas lagi-lagi menempati posisi strategisnya, yaitu menolak! Koran ini selalu menggunakan orang Islam untuk menentang hal-hal berbau Islam. Dalam hal perda ini, lihat saja mereka menam-pilkan Eros Djarot. Pada Kompas edisi 12 Juni 2006, Eros Djarot melalui opininya berjudul “Saatnya Duduk Bersama” menyimpulkan, perda bernuansa syari'at adalah bagian dari nafsu politik mem-bangun negara di dalam negara, dan Perda Syari'at adalah gambaran Indo-nesia yang amburadul. Perda Syari'at juga dinilai Eros sebagai “hukum lain” di luar hukum positif.

Padahal orang tahu, Eros Djarot bu-kan pakar hukum, sehingga tidak mengerti bahwa menyerap hukum Islam ke dalam hukum positif adalah meru-pakan salah satu kaidah terbentuknya hukum positif. Tentu aneh dan janggal bila hukum positif di tengah masyarakat yang mayoritas Islam bersumber dari hukum-hukum yang diterbitkan oleh kolonialis dan imperialis. Apalagi, hukum Islam sudah diberlakukan bagi masya-rakat Islam di kawasan Nusantara ini jauh sebelum kemerdekaan NKRI. Eros Djarot juga bukan pakar sejarah, sehingga ia tidak tahu bahwa orang Islam di Indo-nesia telah menerima dan menerapkan hukum Islam di dalam masyarakatnya secara menyeluruh, dan diperbolehkan pemerintah kolonial Belanda, jauh sebe-lum kemerdekaan. Fakta ini diungkapkan oleh pakar hukum bangsa Belanda, LWC Van Den Berg (1845-1927).

Sejak berkumandangnya wacana per-da syari'at dan RUU APP, Kompas telah menjadi corong propaganda gerakan anti syariat dan anti Arab. Padahal, Arab dalam konteks sebagai etnik, bahasa dan nilai budaya, sudah menjadi salah satu anasir yang membentuk bangsa dan budaya Indonesia, sebagaimana Cina dan Hindu.

Corong Sepilis
Harian Kompas kian terang menjadi corong kaum Sepilis (sekularis, pluralis, dan liberalis). Melalui media inilah kaum Sepilis mengaktualisasikan pemikirannya yang menyerang Islam dan kaum Mus-limin. Hanya saja, sebagai corong Sepilis, dalam prakteknya Kompas juga tidak konsisten, karena hanya mau menerima opini dari satu warna saja yaitu warna sepilis.

Paling sering Kompas mempub-likasikan opini dari Ulil, Sukidi, Nur-cholish, Dawam, Gus Dur dan sejenisnya. Tidak terlihat Kompas punya itikad baik mau menyodorkan warna yang berbeda dengan menampilkan penulis yang terbukti mampu mematahkan argumen nama-nama tadi.

Mungkin Kompas berpikir sedang memberikan kontribusi di dalam mencip-takan Indonesia yang damai dan santun dengan mempublikasikan tulisan (opini) yang disumbangkan kaum Sepilis. Patut diduga, diskresi itu justru membuat panas situasi. Jangan-jangan memang Kompas ini sedang memantikkan api yang bisa membakar situasi ketegangan horizontal di Indonesia. [mujiyanto/pendi/dari berbagai sumber/www.suara-islam.com]

Tabloid SUARA ISLAM EDISI 52, Tanggal 19 September - 2 Oktober 2008 M/19 Ramadhan - 2 Syawwal 1429 H


25 Desember dan 'Hari Raya' Dakwah Umat Islam

Tiap kali 25 Desember tiba, ummat Islam terbagi-bagi dalam menyikapinya. Ada yang mengucapkan selamat Natal (bahkan ikut dalam perayaan Natal bersama), dengan alasan toleransi beragama, kerukunan hidup beragama, atau imbal balik atas ucapan selamat Idul Fitri. Ada pula yang tegas menolak dan tak mau mengucapkan selamat Natal, dengan alasan bahwa perayaan Natal terkait dengan prinsip akidah, dan bahwa MUI jelas-jelas sudah mengeluarkan fatwanya tentang haramnya mengikuti perayaan Natal bersama (fatwa tahun 1981) (1). Banyak pula yang merasa kikuk: Kalau tak mengucapkan selamat Natal, merasa "tak enak dengan tetangga".

Lebih dari duapuluh tahun sejak MUI mengeluarkan fatwa haramnya bagi ummat Islam untuk mengikuti perayaan Natal bersama; hari ini di tahun 2003, kita masih saja terus bergulat dengan definisi “toleransi beragama”.

Masih saja ada media massa yang mempromosikan opini, bahwa toleransi beragama tidak mengenal batas dan dapat dicampur adukkan dengan toleransi akidah: mengikuti perayaan Natal bersama, adalah bagian wajar dari upaya untuk menyuburkan keharmonisan hubungan antar ummat beragama (2). Sedangkan ulama’pun sudah menyatakan bahwa, -jangankan menghadiri perayaan Natal-mengucapkan selamat Natalpun haram hukumnya (3).

Haram mengucapkan selamat Natal? Ah, tidakkah ini berlebihan? Mengapa hanya sekedar turut menyampaikan rasa gembira –sebagai wujud dari rasa hormat dan cinta- kepada saudara-saudara ummat Kristen yang tengah bersuka cita merayakan kelahiran Yesus saja dilarang? Kalau begini caranya, alangkah gersangnya hidup kebersamaan bertetangga. Alangkah tak adilnya, ketika mereka dengan tulus mengucapkan selamat lebaran, kita diam saja menolak untuk membagi salam Natal....

Sesungguhnya, ketika kita mengucapkan selamat Natal teriring senyuman, tuluskah hati kita berpartisipasi dalam kesuka citaan handai taulan kita ummat Kristen menyambut Natal? Di satu pihak, kita meyakini bahwa Isa AS hanyalah seorang Nabi dan bukan Tuhan (QS 4:171; QS 19:30; QS 43:59), bahwa kita dilarang menyembahnya (QS 5:116), bahwa Isa AS tidak mati disalib (QS 4:157), dan bahwa kafirlah orang-orang yang menyatakan bahwa Isa AS itu Tuhan (QS 5:73). Dengan demikian, seberapa jujur, tulus, dan gembira kita mengucap selamat Natal kepada saudara-saudara ummat Kristen, ketika kita tahu bahwa Alloh SWT menjanjikan siksaan pedih bagi mereka yang memuja Trinitas? “Selamat Natal saudara-saudaraku, selamat jalan ke neraka,” begitukah kita hendak menyalami saudara-saudara kita yang belum paham dengan kekeliruannya?

Adalah rasa sayang kita yang tulus, rasa cinta kita yang ikhlas jualah, yang seharusnya menyingkirkan segenap kegamangan sikap kita. Diam mulut kita yang tak mau mengucapkan salam Natal, penolakan kita untuk mengikuti perayaan Natal bersama, adalah wujud kasih sayang kita yang sejati sebagai ummat Islam terhadap saudara-saudara kita ummat Kristen agar tidak terus menerus mabuk dalam ilusi tentang “Tuhan Yesus”.

25 Desember, adalah momentum bagi ummat Islam menyapa kaum kerabat Kristen, dan berusaha menyadarkan, bahwa Yesus tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Kepercayaan Natal 25 Desember –sebagaimana halnya dengan dogma Trinitas- merupakan hasil sinkretisme dari ajaran Paulus dengan berbagai kepercayaan kuno, antara lain Mithraisme (4). Yesus bukanlah Tuhan. Bahwa kepercayaan Trinitas merupakan hasil evolusi panjang dari pergumulan -dan bahkan pertentangan- yang keras dan kotor di kalangan pendeta dan pengikut Kristen awal (al. perseteruan antara Arius yang pro monotheisme versus Athanasius yang pro Trinitas), dan bukan berasal dari ajaran Yesus sendiri (5,6). Perdebatan tentang siapakah Yesus itu: Tuhan atau manusia, bahkan tidak selesai sampai sekarang. Upaya-upaya para sarjana Kristen untuk menemukan Yesus historis membentur kenyataan, bahwa hanya 16-18% dari Bibel –satu-satunya sumber sejarah bagi mereka tentang Yesus- yang dapat dianggap berasal dari Yesus (baik ucapan mau pun perbuatan) (7).

Bahwa pendiri agama Kristen sesungguhnya bukanlah Yesus, tetapi seseorang bernama Paulus dari Tarsus: Paulus yang semula merupakan musuh hebat dari para pengikut Yesus, tapi kemudian berbalik sepenuhnya menjadi “pengikut setia” Yesus, yang kemudian menyebarkan ajaran atas nama Yesus, sekalipun tidak pernah bertemu dengan Yesus, dan tidak pernah menjadi muridnya (8, 9, 10). Paulus inilah yang memutar balik ajaran Yesus dan murid-muridnya, dari sebuah ajaran yang asal muasalnya terbatas hanya untuk kalangan Yahudi menjadi ajaran untuk orang-orang non Yahudi (Gentile) (11). Yesus datang untuk meneguhkan pelaksanaan hukum-hukum Taurat (Matius 5:17), sedangkan Paulus merubahnya (8). Para pengikut Yesus yang sejati, yang dipimpin oleh Yakobus saudara Yesus, masih mempertahankan hukum-hukum Taurat seperti bersunat, menghindar dari makanan-makanan haram tertentu, dan berqurban, sementara Paulus menghapusnya agar adaptif bagi cita rasa pemeluk Kristen dari kalangan non Yahudi/ Romawi (8 , 10). Pauluslah juga yang merubah citra Yesus yang semula adalah manusia biasa dari Nazareth, seorang Nabi, menjadi Tuhan Romawi (11). Itu sebabnya terjadi pertentangan keras antara pengikut Yesus yang asli (Gereja Jerusalem/ Gereja Sunat) dengan Paulus (Gereja Gentile) yang antara lain tercermin dalam satu-satunya surat Yakobus di dalam kitab Perjanjian Baru (5, 8, 9, 10). Paulus dianggap sebagai penghianat dan murtad (9, 10).

Sayangnya, ajaran pengikut Yesus yang asli lama-kelamaan hilang dari panggung sejarah, sementara ajaran distortif Kristen versi Paulus yang dipengaruhi tradisi Hellenistik-Yunani-Romawi justru berkembang pesat, bahkan menjadi agama resmi negara Romawi dan seluruh wilayah jajahannya sejak era Kaisar Konstantin (9). Yang menarik, sisa-sisa pengikut Arianisme (merujuk pada Arius, seorang pemimpin gereja abad 4 M, yang menentang pendapat tentang ketuhanan Yesus, dan dengan demikian agak lebih dekat kepada ajaran Tauhid) seperti gereja Unitarian, masih bertahan hingga sekarang, meskipun harus melalui berbagai persekusi gereja Kristen. Keberadaan minoritas pengikut Arianisme di dalam tubuh ummat Kristen ini menunjukkan bukti akan sisa-sisa ajaran Yesus yang asli (10, 12).

Tidakkah kita berkewajiban mengungkap semua fakta itu kepada kaum kerabat kita ummat Kristen? 25 Desember adalah saat yang tepat untuk “merayakan hari dakwah” dengan membagi-bagikan informasi tentang Yesus historis, seorang Nabi yang sesungguhnya membawa ajaran Islam; dalam bentuk seminar-seminar, menulis opini di media massa, menyebar pamflet, atau sekedar mengobrol santai. Barangkali aksi-aksi seperti ini lebih jujur daripada basa-basi akrab semu salam-salaman Natal atas nama kerukunan dan toleransi beragama, tetapi hakekatnya menutup-nutupi kebenaran, dan membiarkan saudara-saudara Kristen yang kita cintai terus bergelimang di dalam kekeliruan akidah dan sejarah.
Wallahu a’lam bish shawwab.

Maraji':


Fatwa MUI: Perayaan Natal Bersama


Kompas, "Belajar dari Ngepeh dan Mojowangi", Sabtu, 29 November 2003


Dalil Dilarangnya Mengucap Selamat Natal


Saul of Tarsus, Mithraic Cults, and Christ’s Blood


Dr C Groenen OFM, “Sejarah Dogma Kristologi”, Yayasan Kanisius, 1988.


Dr Hudoyo Hupudiyo, MPH, “Sejarah Trinitas”


The Jesus Seminar


Paul the Apostle and Salvation thru Faith (12 Heresies of Christianity)


Steve Mizrach, “The Dead Sea Scrolls Controversy”


Bilal Cleland, “Islam and Unitarians – The Quest for Truth and Justice (Part 1), “Salam” Mei-Juni 2003 11. Marvin Perry, “Western Civilization, Ideas, Politics, and Society”, 2nd ed., Houghton Mifflin Company, hal. 150-167


Rev. Roderick M. Brown, “Celebrating Our Christian Heritage”


Kiriman :maryoto0@lycos.com
Eramuslim


(Kritik terhadap Pendapat Prof. Dr. Din Syamsuddin)

Oleh : Adian Husaini (Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat)


Pada tanggal 25 Desember 2007, saat sedang berada di Palembang, saya menerima banyak SMS yang bernada prihatin, bahwa Prof. Dr. Din Syamsuddin, selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah, akan menghadiri acara Perayaan Natal Bersama (PNB) pada 27 Desember 2007. Selama di Palembang, saya tidak sempat mengecek kebenaran berita itu. Barulah pada Rabu (26 Desember 2007) pagi ini, saya sempat mengecek berita tersebut. Setelah menerima sebuah SMS tentang duduk cerita rencana kehadiran Din Syamsuddin dalam acara PNB tersebut, saya kemudian merasa perlu menulis artikel seputar PNB ini, untuk mengoreksi beberapa logika Din Syamsuddin. Sekitar tiga tahun lalu, pada 24 Desember 2004, saat tinggal di Kuala Lumpur, saya sudah menulis Catatan Akhir Pekan ke-83 , dengan judul yang sama dengan artikel ini.

Bagi saya pribadi, pernyataan dan pemikiran Din Syamsuddin tentang PNB memang agak mengejutkan. Artikel ini sama sekali tidak bermaksud meragukan keimanan Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim. Saya kenal beliau sangat lama, dan sampai detik saya menulis artikel ini, saya masih percaya akan komitmen yang tinggi Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim.

Sekarang, saya juga duduk sebagai pengurus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan di pengurus MUI Pusat. Tentu saya sebenarnya tidak ingin tulisan ini dibaca secara terbuka. Akan tetapi, karena Din Syamsuddin sudah mempublikasikan pemikirannya secara luas dan terbuka, maka menjadi kewajiban saya untuk menjawab logika-logika Din Syamsuddin secara terbuka pula. Sebab, ini sudah menyangkut urusan Islam, bukan hanya urusan Muhammadiyah atau MUI. Juga, logika seperti ini, sudah sering dikemukakan oleh berbagai pihak. Jadi, ini adalah bagian dari kewajiban untuk melakukan taushiyah antar sesama Muslim. Dan ini sangat penting, karena kekeliruan pemikiran seorang pemimpin agama ? apalagi yang bergelar Prof. Dr. ? dapat berakibat fatal, karena dianggap sebagai rujukan kebenaran.

Rasulullah saw bersabda bahwa ?Mimmaa akhaafu ?alaa ummatiy zallatu ?aalimin wa jidaalu munaafiqin fil Quraani.? (Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan menimpa umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.? (HR Thabrani dan Ibn Hibban)).

Saya berpendapat, bahwa dalam soal PNB ini, Pak Din Syamsuddin sedang tergelincir pemikirannya, dan mudah-mudahan bersedia meluruskannya kembali. Situs www.detik.com (24/12/2007 15:32 WIB), menulis berita berjudul ?Din Tidak Larang Hadiri Perayaan & Ucapkan Selamat Natal?. Ditulis dalam berita ini:



?Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menghadiri seremonial Natal tidak seharusnya dihindari. Demikian pula dengan memberikan ucapan selamat Natal kepada kaum Kristiani. ?Saya pribadi berpendapat fatwa MUI sejak zaman Buya adalah larangan menghadiri upacara Natal yang berdimensi ibadah dan keyakinan karena itu wilayah keyakinan masing-masing. Tetapi yang berbentuk seremoni tidak seharusnya terhindari,? kata Din.



Hal ini disampaikan Din usai menerima kunjungan panitia Perayaan Natal Nasional 2007 di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin (24/12/2007). Din pun mengaku bersedia menghadiri perayaan Natal Nasional yang akan digelar pada 27 Desember 2007 mendatang.

Juga diberitakan detik.com, bahwa dalam kesempatan itu, Ketua Umum Panitia Perayaan Natal Nasional, Mari Elka Pangestu mengharapkan Din hadir dalam acara tersebut. ?Kita berharap perayaan Natal bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kita juga sudah menyampaikan berbagai bantuan ke berbagai daerah seperti sembako di NTT dan penanaman 50 ribu pohon di Cipularang,? ujarnya, seperti dikutip detik.com .

Sebenarnya, di dalam Muhammadiyah sendiri, masalah ?Perayaan Natal Bersama? dan soal ?Mengucapkan Selamat Natal? sudah selesai dibahas. Di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal ini juga mengacu kepada fatwa MUI. Adapun soal ?Mengucapkan Selamat Hari Natal? dapat digolongkan sebagai perbuatan yang syubhat dan bisa terjerumus kepada haram, sehingga Muhammadiyah menganjurkan agar perbuatan ini tidak dilakukan.

Fatwa yang Digugat
Secara umum, kita akan mengupas logika yang menganjurkan perlunya PNB dalam paparan berikut ini. Seperti dikutip dalam berita itu, Mari Elka Pangestu berharap, Din Syamsuddin akan hadir dalam acara PNB, dan dia pun berharap, perayaan Natal bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Kita maklum, selama ini tidak mudah mengajak tokoh Islam untuk hadir dalam PNB, karena terganjal oleh Fatwa MUI tentang PNB. Karena itulah, sejak diterbitakannya fatwa MUI tentang PNB, tahun 1981, fatwa itu sudah menuai kritik yang tiada habis-habisnya. Ada yang mengkritik secara terbuka dan ada juga yang tidak setuju secara diam-diam.

Karena itu, kita perlu menelaah masalah PNB ini secara mendasar. Ketika fatwa itu dikeluarkan, saya sedang duduk di bangku kelas 1 SMA di Bojonegoro. Saya mengikuti perdebatan tentang fatwa itu dari kampung saya, Desa Kuncen-Padangan-Bojonegoro, melalui majalah Panji Masyarakat, yang dilanggan ayah saya (almarhum, seorang guru SD yang juga Pengurus Muhammadiyah Padangan). Dari majalah ini, hampir tidak pernah saya lewatkan membaca rubrik Dari Hati ke Hati asuhan Buya Hamka. Seperti kita ketahui, Hamka kemudian memilih untuk mengundurkan diri sebagai ketua MUI, ketimbang menarik kembali peredaran fatwa itu, sebagaimana diminta oleh Menteri Agama ketika itu Alamsyah R. Perwiranegara. Saya masih ingat, saya menitikkan air mata, ketika membaca tulisan Hamka tentang pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum MUI. Ketika itu, saya berpikiran, ?Beginilah seharusnya seorang ulama: luas ilmunya dan kokoh pendiriannya!? Di kalangan Muhamamdiyah sediri, Hamka sangat dihormati, sehingga namanya diabadikan menjadi sebuah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, di Jakarta. Sayang sekali, akhir-akhir ini ada sejumlah buku dan artikel yang mencoba ?memelintir? pendapat-pendapat Hamka, sehingga seolah-olah Hamka adalah seorang penganut paham Pluralisme Agama.

Maka, saya senantiasa merasa amat sangat sedih dan pilu, ketika ada diantara orang-orang Muhammadiyah atau MUI sendiri yang kemudian menggugat atau menyalahpahami fatwa ini. Jika gugatan atau kesalahpahaman terhadap fatwa PNB itu datang dari kaum liberal atau non-Muslim, masih bisa dipahami.

Terakhir, misalnya, Luthfi Asyaukanie, yang menyebut dirinya sebagai ?Koordinator Jaringan Islam Liberal?, dalam artikelnya yang berjudul ?Sikap Negara terhadap Aliran Sesat ? (Koran Tempo, 22 Desember 2007), menulis:



?Majelis Ulama Indonesia berkali-kali meresahkan masyarakat dengan fatwa-fatwa mereka (fatwa menghadiri perayaan Natal, misalnya).?



Jadi, fatwa PNB ini oleh kaum liberal senantiasa diposisikan sebagai fatwa yang meresahkan masyarakat. Dan seperti biasa, menjelang perayaan Hari Natal, 25 Desember, ada saja sebagian kalangan yang kembali menggugat fatwa MUI tentang ?haramnya seorang Muslim hadir dalam Perayaan Natal Bersama.? Ada yang menyatakan, bahwa yang melarang PNB atau yang tidak mau menghadiri PNB adalah orang yang tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari pluralisme, tidak menghargai multikulturalisme, tidak mau berta?aruf, dan sebagainya. Padahal orang Islam disuruh melakukan ta?aruf (QS 49:13). Banyak yang kemudian berdebat tentang ?boleh dan tidaknya? menghadiri PNB, tanpa menyadari, bahwa sebenarnya telah banyak diciptakan mitos-mitos seputar apa yang disebut PNB itu sendiri.

Marilah kita telaah mitos-mitos tersebut:
PERTAMA, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini seperti sudah begitu berurat berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu. Padahal, bisa dipertanyakan, dalam tataran kenegaraan, apa memang perlu diadakan PNB? Untuk apa? Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala nasional dan dijadikan acara resmi kenegaraan ? yang mengharuskan Presiden menghadirinya ? maka perlukah juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB (Nyepi Bersama), IFB (Idul Fithri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB (Maulid Nabi Bersama), IMB (Isra? Mi?raj Bersama), IB (Imlek Bersama). Jika semua itu dilakukan, mungkin demi alasan efisiensi dan pluralisme beragama, akan ada yang usul, sebaiknya semua umat beragama merayakan HRB (Hari Raya Bersama), yang menggabungkan hari raya semua agama menjadi satu. Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus, peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw, dan kelahiran dewa-dewa tertentu, dan sebagainya.

Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos, khususnya kata ?Bersama?. Jika kaum Kristen merayakan Natal, mengapa mesti harus melibatkan kaum agama lain? Ketika itu mereka memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka mengapa mesti mendorong-dorong umat agama lain untuk mendengarkan cerita tentang Yesus dalam versi Kristen? Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai juru selamat umat manusia itu tidak diyakini diantara pemeluk Kristen sendiri?

Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, wacana tentang perlunya PNB adalah sebuah ?keanehan?. Kita tidak pernah mendengar bahwa kaum Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya, mendiskusikan tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fithri Bersama), agar mereka disebut toleran. Bahkan, mereka tidak merasa perlu menetapkan Idul Fithri atau Idul Adha sebagai hari libur nasional. Padahal, di Inggris, Kanada, dan Australia, mereka menjadikan 26 Desember sebagai ?Boxing Day? dan hari libur nasional. Selain Natal, hari Paskah diberikan libur sampai dua hari (Easter Sunday dan Esater Monday). Di Kanada dan Perancis, Hari Natal juga libur dua hari. Hari libur nasional di AS meliputi, New Year?s Day (1 Januari), Martin Luther King Jr Birthday (17 Januari), Washingotn?s Birthday (21 Februari), Memorial Day (30 Mei), Flag Day (14 Juni), Independence Day (4 Juli), Labour Day (5 September), Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11 November), Thanksgiving?s Day (24 November), Christmas Day (25 Desember).

KEDUA, mitos bahwa PNB bertujuan membina kerukunan umat beragama. Mitos ini begitu kuat dikampanyekan, bahwa salah satu cara membina kerukunan antar umat beragama adalah dengan menghadiri PNB, sehingga orang yang menolak untuk menghadiri PNB dipersepsikan sebagai orang yang tidak toleran dan tidak mau rukun. Padahal, dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara yang menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus adalah anak Allah yang tunggal, juru selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes, 14:16). Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, disebutkan: ?Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja? Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.? (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983). Sementara itu, dalam Islam, kepercayaan bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak Tuhan dipandang sebagai satu kekeliruan yang amat sangat serius ? satu kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157; 19:89-91, dsb). Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu ?Kejahatan besar? (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran: ?Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.? (QS 19:90-91).

Prof. Hamka menyebut tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:

?Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu? bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima? Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.?

Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: ?Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.? (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).

KETIGA, mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya menghadiri acara non-ritual dan bukan acara ritual. Dalam ungkapan Din Syamsuddin: ?Saya pribadi berpendapat fatwa MUI sejak zaman Buya adalah larangan menghadiri upacara Natal yang berdimensi ibadah dan keyakinan karena itu wilayah keyakinan masing-masing. Tetapi yang berbentuk seremoni tidak seharusnya terhindari.? Kita patut bertanya, apa kriteria untuk menentukan bahwa suatu kegiatan dalam perayaan Natal adalah ?ibadah? dan yang lain adalah ?seremoni?. Sebab, sebagaimana disebutkan oleh Prof. Huston Smith, ?Christianity, is basically a historical religion. It is founded not in abstract principles, but in concrete events, actual historical happenings. (Lihat, Huston Smith, The World?s Religions, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991).

Agama Kristen tidak memiliki sistem ibadah yang bersifat ?revealed? yang sama untuk semua Kristen sebagaimana dalam Islam. Karena itulah, setiap sekte atau Gereja memiliki tata cara ibadah yang ?khas?, yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap Gereja, pada setiap zaman, dan setiap tempat, dalam membuat kreasi sendiri dalam ?ibadah?. Karena itu, dalam konsep Kristen, tidak mudah untuk menentukan, mana yang ibadah atau ritual, dan mana yang non-ritual atau yang seremoni. Misalnya, acara-acara KKR di berbagai hotel atau lapangan, apakah dikategorikan sebagai ibadah aau seremoni? Konsep kenabian (prophecy) dalam agama Kristen berbeda dengan konsep kenabian dan konsep uswah sebagaimana konsep kenabian Islam. Umat Islam memiliki tata cara ibadah yang satu, karena ada contohnya yang jelas, yaitu sunnah Nabi Muhammad saw. Ke mana pun umat Islam pergi dan dimana pun, kapanpun, orang Islam shalat dengan cara yang sama. Umat Islam takbir, ruku?, sujud, dengan cara yang sama. Bahkan, sejumlah aliran yang disebut ?sesat? dalam Islam masih memiliki ibadah yang sama. Dalam Islam sistem ibadah tidak berubah, sudah sempurna sejak awal, di zaman Nabi Muhammad saw. (QS 5:3). Karena itu, bagi umat Islam, mudah menentukan, mana yang ritual dan mana yang non-ritual. Shalat Idul Fithri adalah ritual, tetapi kunjungan ke rumah-rumah setelah shalat Id adalah tradisi, non-ritual. Karena itulah, dalam fatwa MUI tentang PNB yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1981 disebutkan bahwa ?Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah.? Untuk menjernihkan masalah ?ibadah? dan ?seremoni? dalam Natal, bagus juga kita tengok sejarah peringatan Natal itu sendiri, dan sulitnya memisahkan antara yang ibadah dan yang seremoni. Sebab, tradisi ini tidak muncul di zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus. Maka, bagaimana bisa ditentukan, mana yang ibadah dan mana yang seremoni?



Remi Silado, seorang budayawan Kristen, menulis kolom di majalah Gatra, edisi 27 Desember 2003. Judulnya ?Gatal di Natal ?. Beberapa kutipan kolomnya kita petik di sini:

(1) ?Sebab, memang tradisi pesta ceria Natal, yang sekarang gandrung dinyanyikan bahasa kereseh-reseh Inggris, belum lagi terlembaga. Sapaan Natal, ?Merry Christmas? ?dari bahasa Inggris Lama, Christes Maesse, artinya ?misa Kristus?? baru terlembaga pada abad ke-16, dan perayaannya bukan pada 25 Desember, melainkan 6 Januari.?

(2) ?Dengan gambaran ini, keramaian Natal sebagai perhitungan tahun Masehi memang berkaitan dengan leluri Barat, istiadat kafir, atau tradisi pagan, yang tidak berhubungan dengan Yesus sendiri sebagai sosok historis-antropologis bangsa Semit, lahir dari garis Ibrahim dan Daud, yang merupakan bangsa tangan pertama yang mengenal monoteisme absolut lewat Yehwah.?

(3) Saking gempitanya pesta Natal itu, sebagaimana yang tampak saat ini, karuan nilai-nilai rohaninya tergeser dan kemudian yang menonjol adalah kecenderungan-kecenderungan duniawinya semata: antara lain di Manado orang
mengatakan ?makang riki puru polote en minung riki mabo? (makan sampai pecah perut dan minum sampai mabuk).

(4) ?Demikianlah, soal Natal sekali lagi merupakan gambaran pengaruh Barat, dan persisnya Barat yang kafir, yang dirayakan dengan keliru.? Yang jelas-jelas tidak ritual adalah menghadirkan tokoh Santa Claus, karena ini adalah tokoh fiktif yang kehadirannya dalam peringatan Natal banyak dikritik oleh kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen (www.sabda.org), menulis satu artikel berjudul: ?Merayakan Natal dengan Sinterklas: Boleh atau Tidak?? Dikatakan, ?Dalam artikelnya yang berjudul The Origin of Santa Claus and the Christian Response to Him (Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang Kristen Terhadapnya), Pastor Richard P. Bucher menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh para pelaku bisnis.

Sinterklas yang kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita kehidupan seorang pastor dari Myra yang bernama Nicholas (350M). Cerita yang beredar (tidak ditunjang oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan bahwa Nicholas dikenal sebagai pastor yang melakukan banyak perbuatan baik dengan menolong orang-orang yang membutuhkan. Setelah kematiannya, dia dinobatkan sebagai ?orang suci? oleh gereja Katolik, dengan nama Santo Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran iman Kristen? Akhirnya, sebagai guru Sekolah Minggu kita harus menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah menjadikan Kristus sebagai berita utama dalam merayakan Natal ? Natal adalah Yesus.?



Karena itu, kita bertanya, bagaimana seandainya seorang Prof. Dr. Din Syamsuddin mengenakan busana ala Santa Claus, dengan alasan itu bukan termasuk ibadah? Tentulah, sulit diterima. Dan kita yakin, Pak Din Syamsuddin sendiri, tentu tidak akan bersedia melakukan tindakan tersebut.

KEEMPAT, mitos bahwa tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB. Melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu media yang baik untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat. Sebab, misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja Kristen. Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 1) juga disebutkan: ?Christ is the Light of nations. Because this is so, this Sacred Synod gathered together in the Holy Spirit eagerly desires, by proclaiming the Gospel to every creature, to bring the light of Christ to all men, a light brightly visible on the countenance of the Church.? (Terjemahan oleh Dr. J. Riberu adalah: ?Terang bangsa-bangsa adalah Kristus. Karena itu Konsili Suci ini, yang berhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali mewartakan Injil kepada segala makhluk (bdk Mk 16:15) dan menerangi semua manusia dengan cahaya Kristus, yang terpantul pada wajah Gereja).

Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes, juga menugaskan, agar semua manusia harus dijadikan sasaran misi. Ad gentes juga menugaskan agar misi Kristen tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi ?sakramen universal penyelamatan umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan, semua manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church?s preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which is His body).

Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan agamanya, dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka. Namun, alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran misi Kristen. Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik-nya, Redemptor Hominis, (dikeluarkan 4 Maret 1979) menyatakan, bahwa Gereja berkeinginan agar setiap orang dapat menemukan Kristus (The church wishes to serve this single end: that each person may be able to find Christ, so that Christ may walk with each one the path of life).

Lebih jauh lagi ditegaskan dalam Dekrit Dominus Jesus: ?The Lord Jesus, before ascending into heaven, commanded his disciples to proclaim the Gospel to the whole world and to baptize all nations: ?Go into the whole world and proclaim the Gospel to every creature. He who believes and is baptized will be saved; he who does not believe will be condemned. (Mk 16:15-16); ?All power in heaven and on earth has been given to me. Go therefore and teach all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, teaching them to observe all that I have commanded you. And behold, I am with you always, until the end of the world?(Mt 28:18-20; cf. Lk 24:46-48; Jn 17:18,20,21; Acts 1:8).

Sebagai Muslim, kita menghormati keyakinan dan tugas misi kaum Kristen tersebut. Karena itu adalah keyakinan mereka. Paus Yohanes Paulus II pun maklum akan perbedaan mendasar antara Kristen dengan Islam. Dalam sebuah wawancara, Paus mengatakan, bahwa Islam bukan agama penyelamatan. (Islam is not a religion of redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada ruang untuk Salib dan Kebangkitan Yesus (? in Islam, there is no room for the Cross and the Resurrection). Lebih jauh Paus menyatakan: ?Jesus is mentioned, but only as a prophet who prepares for the last prophet, Muhammad. There is also mention of Mary, His Virgin Mother, but the tragedy of redemption is completely absent.? ?For this reason,? Paus menyimpulkan, ?not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity.? (Lebih jauh tentang pernyataan Paus Yohanes Paulus II, lihat Vittorio Messori (ed.), Crossing The Threshold of Hope by His Holiness John Paul II, (New York: Alfred A. Knopf, 1994).

Imbauan
Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum non-Muslim bersedia menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk menghadiri PNB. MUI sama sekali tidak melarang kaum Kristen merayakan Natal. Fatwa itu adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan Hari Natal. Mestinya, kaum non-Muslim menghormati keyakinan umat Islam ini, sebagaimana difatwakan oleh MUI. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Karena itu, kita menyesalkan jika kalangan Kristen banyak mengkritik fatwa tersebut. Menganggap fatwa MUI tentang PNB itu tidak sejalan dengan semangat kerukunan umat beragama, adalah penilaian yang berlebihan dan tidak mengormati keyakinan masing-masing agama. Lebih ajaib lagi, jika ada yang mengaku Muslim ikut-ikutan meributkan fatwa ini, seolah-olah merupakan musibah besar bagi bangsa Indonesia, jika PNB hanya dihadiri internal kaum Kristen saja. Kaum yang mengaku liberal ini seringkali aneh jalan pikirannya. Mereka mengaku liberal dan katanya punya misi untuk menanamkan pluralisme dan menghormati perbedaan. Tapi, mereka sendiri bersikap otoriter dan tidak mengormati pendapat dan fatwa MUI soal Natal Bersama. Harusnya mereka menghormati fatwa tersebut dan tidak mencaci maki serta menuduh fatwa itu meresahkan masyarakat, dan sebagainya. Jika mereka sudah ?kebelet? mau menghadiri PNB, ya silakan saja. Itu urusan mereka. Tidak perlu berteriak-teriak memaki-maki MUI. Dalam soal PNB ini, MUI hanya menyatakan, bahwa itu hukumnya haram. MUI tidak meminta polisi membubarkan PNB atau tidak meminta orang-orang yang hadir dalam PNB itu ditangkapi. MUI hanya berpendapat, tapi sudah dicaci maki. Karena itu, MUI juga tidak akan memaksa kaum liberal untuk mengikuti fatwa MUI. Jika mereka berpendapat bahwa menghadiri PNB adalah jalan untuk menggapai Ridho Ilahi dan halalan thayyiban, ya itu urusan mereka. Toh, nanti di akhirat tanggung jawabnya juga masing-masing. Wa laa taziru waaziratun wizra ukhraa.

Dalam pandangan Islam, masalah peringatan Hari Besar Agama, sebenarnya sudah diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah saw, dan dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad, memutuskan mana yang halal dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian, dan menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di hadapan Allah, sangatlah berat. Untuk masalah hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa dibaca Kitab ?Iqtidha? as-Shirat al-Mustaqim Mukhalifata Ashhabil Jahim?, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas dan kerukunan umat beragama. Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama bagi umat beragama lain, disaat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum ?heresy? karena berbeda agama. Karen Armstrong memuji tindakan Umar bin Khatab dalam memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem. Umar r.a. adalah penguasa pertama yang menaklukkan Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia, bahkan menandatangani perjanjian ?Iliya? dengan pemimpin Kristen Jerusalem. Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat:

?Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997).

Namun, kita bisa menyimak, dalam kitab Iqtidha? as-Shirat al-Mustaqim digambarkan, bagaimana ketegasan Umar bin Khatab dalam soal perayaan Hari Besar kaum Yahudi dan Kristen. Beliau meminta kaum Muslim untuk menjauhi Hari Besar agama mereka. Umar r.a. sama sekali tidak menganjurkan kaum Muslim untuk berboncong-bondong merayakan Natal Bersama. Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biarkanlah masing-masing pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk menjadi munafik, dengan mencampuradukkan urusan perayaan Hari Raya. Masih banyak cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan bekerjasama antar umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman global yang menindas umat manusia saat ini. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan mitos-mitos yang menyesatkan, bahwa jika orang Islam mau menghadiri Perayaan Natal Bersama, atau orang Kristen mau menghadiri perayaan Idul Fithri Bersama, maka Indonesia akan menjadi negara yang rukun dan maju.

Kita berharap, masing-masing agama bersedia menghormati keyakinan masing-masing dan tidak memaksa ? secara halus atau terang-terangan ? untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar ajaran agamanya masing-masing. Tentu amat sangat tidak bijaksana, jika umat Islam juga mendesak pemeluk Kristen atau non-Muslim lainnya untuk menghadiri perayaan Idul Fithri. Karena itu, kita juga berharap, terutama kepada para tokoh dan cendekiawan dari kalangan Muslim, agar lebih berhati-hati dalam bersikap dan mengeluarkan pendapat. Wallahu a?lam. (Hidayatulah.com/Depok, 26 Desember 2007).


Postingan Lama