Kristenisasi Berkedok Kawin Campur
Sepucuk surat tergeletak di meja redaksi kami, Maret lalu. Surat itu dari seberang pulau, Kalimantan Timur. Nama pengirimnya singkat saja, Dewi. Tetapi persoalan yang diadukan tak sesingkat namanya. Coba simak isi surat itu:
"Saya seorang ibu 29 tahun dan suami 31 tahun. Kami telah dikaruniai dua anak. Yang pertama pria (6), dan kedua putri (2). Kami menikah 7 tahun yang lalu, dia adalah teman sekampus saya. Saat pertama mengenalnya, saya benar-benar benci. Maklum, saya lahir dari keluarga Muslim yang taat, sementara dia pemeluk Protestan. Tapi entahlah, mungkin karena dia tak pernah putus asa, saya kemudian menerimanya menjadi pacar. Saya benar-benar semakin sayang setelah dia kemudian menerima menikah dalam Islam. Saya benar-benar bahagia sekali."
"Tetapi setelah datangnya anak pertama lalu disusul anak kedua, banyak perubahan yang terjadi pada suami saya. Tiba-tiba dia jarang shalat dan sering keluar tanpa pamit. Belakangan saya tahu ternyata dia tidak benar-benar meninggalkan agamanya. Bahkan, sejak anak kedua kami lahir, secara terang-terangan dia pernah mengatakan kepada saya. `Saya masih seperti dulu, jadi jangan harap ada perubahan.'"
"Mendengar kata-katanya, saya hampir tidak percaya. Suami saya yang tadinya pendiam itu tiba-tiba seperti itu. Yang membuat saya benar-benar takut dan sedih, hari-hari ini, dia sering memaksa saya mengikuti jejaknya untuk datang di kebaktian.'
Saya sedang sedih dan bingung. Apa yang seharusnya saya lakukan? Apakah saya harus mempertahankan perkawinan ini? Dan apa hukumnya? Saya ingin Bapak bisa menjawab kesulitan saya".
Kisah memilukan itu tidak cuma dialami Dewi, tapi juga seorang ibu asal Palu yang datang ke kantor Suara Hidayatullah (Sahid) Surabaya, Juli lalu. Wanita berperawakan sedang ini datang bersama suaminya dengan wajah sembab. Kepada Sahid, ia menceritakan musibah yang menimpa keluarganya. Singkat cerita, sang adik diketahui hamil di luar nikah sesaat sebelum menyelesaikan gelar sarjananya. Yang membuat musibah itu terasa amat berat, pacar sang adik itu ternyata pemuda beragama lain. "Adik saya dihamili oleh pemuda Kristen," ucapnya sembari menyeka linangan air matanya. Padahal, sang adik dikenal sebagai wanita pendiam dan jarang keluar rumah. Selain itu, selama ini, dia dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga Muslim yang sangat taat. Peristiwa memalukan itu memang kemudian bisa dicarikan solusinya. Singkatnya, sang adik akhirnya menikah dengan pacarnya pemuda Kristen dalam upacara Islam. Setelah itu, keduanya pindah kota yang jauh dari keluarga, di Palu. Hanya saja, kepergiannya masih tetap menyisakan luka yang mendalam bagi pihak keluarga. Terutama setelah diketahui bila sang adik telah ikut sang suami menjadi aktifis gereja bersama semua anaknya.
Kisah cinta seperti Dewi dan adik si ibu tadi bukan hal baru di negeri ini. Banyak pemuda dan pemudi pernah mengalami hal serupa. Memiliki teman dekat atau calon suami yang berbeda agama. Ujung-ujungnya, dalam banyak kasus, hubungan keduanya kemudian terhambat karena adanya perbedaan agama. Bagi yang taat pada agama, mereka memutuskan untuk berpisah. Sebagian lagi memilih kompromi, yakni memilih mengikuti salah satu dari agama yang dianut pasangannya. Pada pilihan yang terakhir inilah yang perlu diwaspadai, utamanya para gadis muslimah.
Sebab, dalam banyak pengalaman, praktek-praktek pernikahan beda agama sejauh ini merupakan lahan empuk kristenisasi. Banyak laporan di lapangan membuktikan kebenaran dugaan itu.
Sekjen Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA), Abu Deedat Syihabudin bahkan mensinyalir ada gerakan —maaf— hamilisasi sebagai metode Kristenisasi. "Banyak saya jumpai, pemuda Kristen mendekati gadis Muslimah, bahkan yang pakai jilbab. Muslimah itu selanjutnya mau menikah setelah telanjur melakukan hubungan suami istri atau hamil," tambahnya. Dengan modus seperti itu, kata Deedat, si pemuda biasanya memaksa calon istrinya masuk Kristen atau dengan berpura-pura masuk Islam.
Dr. Sanihu Munir, Direktur Yayasan Mitra Centre, sebuah yayasan yang menangani konsultasi Kristologi dan para muallaf di Sulawesi sering mendapatkan fakta serupa di wilayah Kendari. Dalam berbagai konsultasi yang banyak dia lakukan, modus operandi Kristenisasi di wilayahnya menggunakan cara seperti itu. "Pernikahan seperti itu sering dijadikan kedok untuk mengajak pasangan suami/istri menjadi Kristen," katanya.
Fakta yang cukup mencengangkan diberikan Front Bersama Umat Islam (FBUI). Lembaga nirlaba yang sangat intens mengurusi pemurtadan ini mengaku tidak kurang 45 kasus pemurtadan lewat kawin campur dalam sebulan. "Itu catatan rata-rata yang ada di kantor kami," ujar Hamdy El. Gumati (41), Ketua Divisi Khusus FBUI. Pengaduan datang dari Sumatera Barat, Padang, Lampung, Gorontalo dan Bekasi. "Itu memang modus yang paling kotor yang kita kenal," katanya pada Sahid.
Menjebol UU Perkawinan
Di Indonesia perkawinan beda agama sesungguhnya sudah diatur secara gamblang di dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun l974. Pada Pasal 2 UU tersebut dikatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."
Secara tidak langsung, berdasarkan pasal tersebut perkawinan dianggap sah bila kedua pasangan menganut agama yang sama. Jika berlainan agama, dengan sendirinya perkawinan tidak dapat dilangsungkan alias dianggap batal secara hukum.
Belakangan, UU itu berusaha terus digoyang oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan, terutama kelompok Nasrani. Beberapa waktu lalu sebuah kelompok mengatasnamakan `Konsorsium Untuk Catatan Sipil' melakukan kampanye untuk merivisi UU Perkawinan. Tidak itu saja, kelompok ini bahkan sudah menyiapkan draf UU Catatan Sipil untuk mensahkan perkawinan beda agama. Di dalam draf tersebut ada pasal yang mewajibkan Kantor Catatan Sipil, mencatatat perkawinan antara dua orang, meskipun mereka berbeda agama dan kepercayaan. Konsorsium memandang, Kantor Catatan Sipil bertugas untuk keperluan administrasi negara, bukan mencampuri masalah agama. "Ini bukan masalah agama tapi masalah HAM," kata Koordinator Konsorsium Soelistyowati Soegondo di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Konsorsium ini memang tidak bekerja sendirian. Tetapi dibentuk atas kerja sama dengan Unicef (Badan PBB untuk pendidikan), dan perwakilan LSM dari dalam dan luar negeri.
Abdurrahman Wahid, tokoh NU, termasuk penentang UU Perkawinan. Gus Dur, malah memberi saran kepada calon-calon pengantin yang beda agama agar menikah di luar negeri. Baru setelah itu pulang mencatatkan di Kantor Catatan Sipil sebagai pasangan yang sah. Dan belakangan cara ini menjadi tren tersendiri, terutama oleh kalangan berduit seperti selebritis. Misalnya, pasangan Ira Wibowo dengan Katon Bagaskara, Yuni Sara, kakak penyanyi Krisdayanti. Kabarnya, kini ada 5 ribu pasangan beda agama yang antri di Singapura untuk melakukan pernikahan. Anehnya, setelah pulang ke Indonesia, pemerintah mengakui mereka sebagai pasangan suami istri yang sah. Kalau mau konsekuen, mestinya Pemerintah menangkapi mereka, lantaran melakukan zina, karena perkawinannya tidak sah.
Celakanya, media massa baik elektronik maupun cetak ikut mensosialisasikan kawin campur ini. Dalam banyak tayangan dan pemberitaan, para pelaku kawin campur digambarkan sebagai pasangan yang selalu bahagia dan harmonis. "Padahal kampanye kawin beda agama yang kini sedang disosialisasikan, sebenarnya juga (termasuk) metode kristenisasi," kata Abu Deedat.
Lebih jauh, kelompok pendukung kawin campur juga berusaha mencari pijakan teologis. Mereka menggandeng para intelektual Muslim untuk melakukan re-interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang melarang kawin campur. Bertemulah mereka dengan kelompok Islam Liberal (Kajian Utan Kayu) yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla. Lewat jaringan media massa yang mereka miliki, Kajian Utan Kayu gencar mensosialisasikan kawin campur itu.
Seperti di harian Jawa Pos beberapa waktu lalu, dua kali berturut-turut ditampilkan Bimo Nugroho dan DR. Zainul Kamal, MA. Bimo adalah aktivis LSM yang Nasrani beristrikan seorang muslimah berjilbab. Lewat tokoh Bimo ini Kajian Utan Kayu seolah ingin memberikan `suri tauladan' kepada khalayak bahwa seolah semua kawin campur selalu bahagia. Zainul Kamal, dosen dari Paramadina mengatakan bahwa larangan pernikahan antara pria non Muslim dengan Muslimah, tidak ada di dalam al-Qur'an. "Teks al-Qur'an secara eksplisit tidak ada yang melarangnya. Hanya saja, mayoritas ijtihad para ulama, termasuk di Indonesia, tidak membolehkannya meski secara teks tidak ada larangan. Makanya yang membolehkan memiliki landasannya dan yang melarang juga punya landasan tertentu," katanya enteng. Terhadap pesan Surat Al Maidah ayat 5 yang isinya menghalalkan pria Muslim menikahi wanita ahlul kitab dan larangan surat Al Baqarah 221 yang bunyinya; "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman, dosen Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memberi interpretasi baru. Kalau sebagian ulama mengharamkan laki-laki non Muslim menikah dengan wanita Muslim, karena dikhawatirkan istri atau anak-anaknya menjadi murtad. "Tapi kalau kita melihat kasus Mas Bimo ini, malah sebaliknya. Anak-anaknya semua ikut ibunya karena yang banyak mendidik di rumah adalah ibunya. Karenanya dalam kasus ini, ijtihad dan pendapat para ulama yang melarang wanita Muslim menikah dengan pria non Muslim perlu ditinjau ulang," ujarnya.
Larangan nikah demikian itu, menurut Zainul, juga karena kondisi sosial yang telah berubah. Menurutnya, "Dulu, dalam kondisi paternalistik Arab, suami mendominasi kuat dalam rumah tangga dan dia yang paling menentukan. Karena itu dikhawatirkan anak akan terpengaruh oleh agama bapaknya. Jangankan anak, istri saja bisa terpengaruh. Demikian kondisi sosial kultural ketika itu. Kondisi sosial kita kini, jauh berubah seperti yang dialami Mas Bimo sendiri."
Zainul juga menyangkal terhadap isi surat Al Baqarah: 221 dan Surat Al Bayyinah 1 tentang penyebutan istilah `musyrik'. Seperti yang telah banyak diketahui, surat Al Baqarah 221, bunyinya sebagai berikut; "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman". Sedang Surat Al Bayyinah 1 berbunyi; "Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata." Dasar inilah yang kemudian dijadikan pegangan banyak orang termasuk ijma' ulama bahwa menikahi wanita dan pria musyrik sebagai hal yang diharamkan. Anehnya, menurut Zainul, orang musyrik yang dimaksudkan al- Qur'an adalah orang musyrik Makkah yang tidak percaya sama sekali akan salah satu kitab suci dan nabi.
"Orang Yahudi dan Nasrani tetap percaya kepada Nabi Ibrahim, Yusuf, Ishak dan lain sebagainya," katanya seperti dikutip koran Jawa Pos. "Mereka tidak ada bedanya dengan kita. Hanya saja, kita juga percaya pada Rosulullah SAW. Jadi Ahli Kitab tidak bisa disebut sebagai musyrik. Walaupun mereka percaya Trinitas," tambahnya.
Guru Besar dan Doktor Fiqh dari IAIN Sunan Ampel, Syechul Hadi Permono, mengaku heran kenapa masih ada yang mengutak-atik kembali sesuatu yang sudah jelas. "Bagaimana mungkin orang yang percaya bahwa Tuhan mempunyai anak dan percaya kepada Tuhan selain Allah SWT dianggap bukan musyrik," katanya kepada Sahid. "Sudah jelas kok, masih dibantah", katanya. "Tidak ada paksaan orang masuk agama. Tapi bila dia sudah masuk, dia wajib mentaati peraturannya. Kecuali dia menyatakan keluar dulu dari agama tersebut", jelas pengasuh PP. Al Hikmah, Kebonsari Surabaya ini pada Sahid. (Lebih lengkap baca rubrik Mutiara Al Qur'an)• Cholis Akbar/Nuim H Hidayatullah
Posting Komentar