Minggu, 16 Agustus 2009

Piagam Jakarta dan Sikap Kristen


Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”



Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?”.

Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.

“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut .


'Mereka Sekarang Sedang Berpesta!'
Berbeda dengan di masa lalu, kini, yang memelopori bangkitnya perundangan sya-riah justru para penyelenggara negara. Dan para pejuang sya-riah Islam pun kini berpesta di atas puing-puing prinsip-prinsip NKRI. “Seakan-akan orang lain tidak ada, seakan-akan orang lain itu kontrak atau indekost di Republik ini. Padahal kita semua ini sama kedudukannya di depan hu-kum dan pembangunan,”
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”

Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.

Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Dekrit Presiden 5 July 1959




Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).



Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).

Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.

Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.





Ridwan Saidi
Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.

Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).

Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).

Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.


Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).

Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”

Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).

Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.

Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [ bersambung..]

ARTI TAUHID




KH. Saifuddin memberikan gelar Doktor Honoris Causa Bidang Da'wah kepada Presiden RI Ir. Soekarno, pada tanggal 02 Desember 1964

Bagian 2..

Pada tanggal 9 Maret 1981, K.H. Saifuddin Zuhri , seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah memegang posisi sebagai Menteri Agama RI, menulis sebuah makalah berjudul “Menghilangkan Prasangka terhadap Piagam Jakarta”. Di tengah situasi politik yang tidak begitu kondusif bagi aspirasi Islam ketika itu, Kyai Saifuddin menyampaikan tujuan penulisan makalahnya:

“Tujuan penulisan makalah ini hendak menghilangkan prasangka. Mungkin akan berhasil, tetapi juga mungkin tidak berhasil. Tetapi saya telah berusaha, telah berikhitiar. Jika tokh saya tidak menulisnya, prasangka akan tetap ada dan tidak digarap hilangnya. Membiarkan prasangka sama dengan menyetujui prasangka. Dan ini suatu sikap mental yang tidak baik bahkan berbahaya.”

Pernyataan Kyai Saifuddin Zuhri itu masih relevan untuk direnungkan. Prasangka terhadap Piagam Jakarta masih dipelihara pada berbagai kalangan. Bukan hanya di kalangan non-Muslim, bahkan juga di sebagian kalangan Muslim sendiri. Bukan hanya salah paham, tetapi sengaja menyalahpahami dan mungkin juga menyalahpahamkan. Dalam makalahnya, Kyai Saifuddin Zuhri juga mengingatkan, bahwa dari prasangka kemudian muncul sikap curiga, dan seterusnya, yang kemudian berkembang menjadi tindakan memata-matai. “Jika memata-matai telah membudaya, di sekeliling kita akan bertebaran tukang-tukang cari kesalahan orang lain, kalau tidak diketemukan lalu dicari-cari dengan membuat skenario palsu. Ini akan melahirkan “dorna” dan “sengkuni” bergentayangan mencari mangsa. Maka, fitnah bakal merajalela,” tulis Kyai Saifuddin Zuhri.

Tampaknya, makalah Kyai Saifuddin ditulis menyusul banyaknya sikap curiga dan tuduhan terhadap umat Islam yang hendak memperjuangkan aspirasi politik Islam di masa Orde Baru, saat itu. Ditegaskan oleh Kyai Saifuddin, bahwa cita-cita dalam berpolitik bagi umat Islam merupakan kebudayaan mereka. Lalu, Kyai Saifuddin menegaskan: “Apirasi Islam itu senantiasa tumbuh melandasi aspirasi nasional kita yang berkembang menjadi budaya nasional yang bercorak Islam dan berjiwa patriotik. Hanya saja, tiap-tiap dihadang oleh kekuatan yang hendak menghambat Islam, maka orang-orang Islam menjadi bangkit semangatnya untuk mempertahankan keyakinan mereka. Hal demikian itu adalah konsekuensi logis dan bukan radikalisme apalagi ekstrim.”

Tentang Piagam Jakarta dan Pancasila, Kyai kelahiran Banyumas 1 Oktober 1919 ini mengingatkan: “Tidak sedikit orang yang melupakan bahwa justru Piagam Jakartalah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945 itu sendiri.” Piagam Jakarta 22 Juni 1945 hanya memiliki perbedaan tujuh kata dengan Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Tujuh kata itu ialah: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sebenarnya, menurut Kyai yang juga penulis produktif ini, nilai tujuh kata-kata itu bersifat konstitusional dan tidak seolah-olah menganakemaskan umat Islam. Umat Islam adalah golongan mayoritas. Mereka telah dijamin hak-haknya dalam melaksanakan tujuh kata-kata tersebut oleh pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Lagi pula, Piagam Jakarta, setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah barang yang sah di Indonesia. Kyai Saifuddin mengutip pidato Presiden

Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965: “Perhatikan, di antaranya penandatangan daripada Jakarta Charter ini, ada satu yang beragama Kristen saudara-saudara, yaitu Mr. A.A. Maramis. Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”

Jadi, tegas Kyai Saifuddin Zuhri, Piagam Jakarta tidak mengandung unsur prasangka untuk dicurigai. Tujuh kata-kata dalam hubungannya dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya tidak menjadi hilang meskipun Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam UUD 1945. Melaksanakan syariat Islam bagi umat Muslimin dan muslimat tetap dijamin oleh pasal 29 UUD 1945. Bangsa Indonesia yang beragama Islam dapat melaksanakan Pancasila tanpa melepaskan syariat Islam. “Sebab itu,” tegasnya, “tidaklah beralasan prasangka terhadap ummat Islam dikarenakan oleh Piagam Jakarta, justru sejarah telah membuktikan betapa besar toleransi ummat Islam terhadap Negara dan Bangsa. Ummat Islam hanya mengharapkan semoga memperoleh respons toleransi dari pihak lain jikalau ummat Islam menggunakan hak-hak mereka melalui pasal 29 UUD (1945) di dalam melaksanakan syariat Islam secara komplit dan legal.”

Itulah harapan KH Saifuddin Zuhri, seperti ia tuangkan dalam salah satu makalahnya. Ia menegaskan, bahwa “Piagam Jakarta tidak mengandung unsur prasangka untuk dicurigai.” Sebagai orang yang bergelut dalam perjuangan Islam di Indonesia, Kyai Saifuddin tampaknya merasakan betapa tidak mudahnya umat Islam meminta pengertian itu; meminta toleransi untuk melaksakan kewajiban sebagai Muslim di Indonesia. Berbagai tudingan dan kecurigaan bagai tiada berhenti, dan lagi-lagi, biasanya aspirasi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, dihadang dengan tudingan “ekstrim:, “radikal”, dan sebagainya, serta hendak mengembalikan Piagam Jakarta. (Makalah KH Saifuddin Zuhri tentang Piagam Jakarta ini dimuat dalam bukunya, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).

Tahun 1981, saat KH Saifuddin Zuhri menulis makalahnya, adalah situasi dimana hubungan antara Islam dan pemerintah masih bersifat sangat antagonistik. Umat Islam ketika itu dihadapkan pada tekanan-tekanan untuk mensekulerkan agamanya. Salah satu yang sangat menjengkelkan umat Islam ketika itu adalah berbagai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Dr. Daoed Joesoef (1978-1983), yang dinilai merugikan umat Islam.

Di Majalah Panji Masyarakat, edisi 315/1981, Hamka menulis kolom Dari Hati ke Hati dengan judul Pedoman Perpustakaan SLTA. Hamka mengkritik keras kebijakan Menteri P&K Daoed Yusuf yang mencabut liburan puasa, sampai-sampai mencabut subsidi pemerintah kepada sekolah Muhammadiyah kalau masih meliburkan muridnya pada bulan puasa. Hamka juga mengkritik keras gagasan pengajaran ”Panca Agama” di sekolah-sekolah. Hamka menengarai adanya usaha-usaha yang halus untuk memperkecil jumlah kaum Muslimin. Ia menyebutkan adanya larangan dari Ka-Kanwil P&K Jawa Timur untuk menyebarkan buku yang memuat ayat Lam yalid wa lam yuulad, wa lam yakun lahuu kufuwan ahad. (Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada yang serupa dengan Dia).

HAMKA menulis kritik yang sangat keras dalam kolomnya tersebut:

”Hal ini telah kita sanggah dan sanggahan pun telah kita sampaikan kepada Menteri P&K. Namun sampai sekarang larangan peredaran buku itu masih berlaku. Alasannya ialah karena hal itu melanggar kerukunan hidup beragama! Tegasnya ialah ”demi kerukunan hidup beragama”, orang Islam mulai sekarang mulai dilarang menyatakan pokok keyakinan agamanya! Dan mulai sekarang – demi apalagi – hendaklah membaca buku Keristen banyak-banyak, mulai membuka tanahnya untuk mendirikan gereja! Sehingga dalam 25 tahun saja, di tanah Jawa orang Islam jadi minoritas, dan di Indonesia 50 tahun! Semua keadaan ini bukankah membuat panas hati kita, melainkan buat membikin kita lebih waspada dan bekerja dengan kepala dingin.”


Memang, dalam otobiografinya, Dia dan Aku (Jakarta: Kompas, 2006), Daoed Joesoef mengungkapkan kejengkelannya terhadap tokoh-tokoh Islam yang menentang masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN. Ia juga menuduh sejumlah tokoh Islam ingin menjadikan negara Indonesia menjadi negara Islam, menggantikan negara Pancasila. Daoed memberikan komentar tentang sejumlah orang bersurban yang mendatanginya: ”Ketebalan surban itu kuanggap tidak lebih lebih dari upaya menutup-nutupi kepicikan pandangannya, menyembunyikan hasrat mereka menjadikan negara Indonesia sebuah Negara Agama, Negara Islam, bukan lagi Negara Kebangsaan, Negara Pancasila. Padahal, konsep Negara Islam tidak ada, baik di dalam Al Quran maupun dalam As Sunnah.”

Daoed Joesoef yang merupakan salah satu tokoh penting di CSIS (Center for Strategic and International Studies) juga memiliki pandangan agar Pendidikan Agama tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, gagasan itu tidak dapat diterapkannya semasa menjabat Menteri P&K. Ketika terjadi perdebatan dengan seorang anggota DPR tentang Aliran Kepercayaan dan pelajaran agama di sekolah, Daoed menyatakan:

”Kalau hal ini diserahkan kepada Menteri, jawabku, jelas dan pasti, yaitu yang harus dihapus itu justru pelajaran agama dari kurikulum dan sistem pembelajaran di semua sekolah negeri, lalu diganti dengan mata pelajaran matematika atau ilmu-ilmu kealaman. Kedua mata pelajaran tersebut memang perlu diperbanyak guna memenuhi tuntutan hidup di abad XXI mendatang. Adapun pengajaran agama seharusnya tidak dijadikan urusan pemerintah karena ia adalah urusan privat, hak prerogatif keluarga yang harus dihormati dan tugas-kewajiban komunitas agama yang bersangkutan itu sendiri. Negara sebaiknya tidak mencampuri soal-soal keyakinan religius.”

Konsep Negara Pancasila yang dipahami oleh Daoed Joesoef dan kawan-kawan memang sebuah konsep negara sekular. Ketika menjabat sebagai menteri P&K, Daoed bahkan tidak mau mengucapkan salam secara Islam. Ketika dikritik, dia memberikan bantahannya: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam.”

Lebih jauh, Daoed Joesoef mengungkapkan bahwa ia menganut konsep laisitas (laicité), yaitu sikap tidak akan memakai agama untuk mendesakkan apalagi memaksakan, hukum dan/atau peraturan perundangan mengenai kehidupan manusia. Artinya, di Negara Republik Indonesia, boleh ada masjid, gereja, kuil, atau rumah/tempat ibadah apa pun sebutannya. Selanjutnya Daoed Joesoef menjelaskan konsepnya tentang negara laiq – yang sebenarnya identik dengan konsep negara sekular. Ia katakan: ” Sebab selama kita tidak bersedia menegakkan suatu garis pemisah antara politik dan agama, selama itu pula akan ada masalah dan pasti Pancasila akan dipersoalkan, dirongrong terus-menerus dengan alasan-alasan yang tidak nalariah, bernuansa emosional fanatik. Setahuku Republik Turki adalah negeri muslim pertama yang menjadi negara laiq, mengubah kerajaan Islam ortodoks menjadi negara nasional modern, yang memisahkan agama dari politik.”

Tentu saja, ide Daoed Joesoef tentang negara Pancasila yang ideal seperti negara Turki modern di bawah Mustafa Kemal Ataturk adalah hal yang aneh. Ia bahkan menyesalkan, Presiden Soeharto tidak mengikuti jejak Kemal Attaturk. “Presiden Soeharto ternyata bukan reformis di bidang kehidupan beragama seperti Presiden Mustafa Kemal,” tulis Daoed Joesoef. Jadi, idola Daoed Joesoef adalah Mustafa Kemal Ataturk. Ia kecewa karena Soeharto tidak bersedia mengikuti jejak Mustafa Kemal Ataturk.

Sebelum era Daoed Joesoef itu, umat Islam juga masih ingat, bagaimana kerasnya kaum Kristen di Indonesia ketika menolak RUU Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dan RUU tentang Peraturan Pernikahan Umat Islam, tahun 1969. Pada tanggal 1 Februari 1969, Fraksi Katolik di DPR mengeluarkan pernyataan sikap bertajuk: “Undang-Undang Perkawinan Harus Tidak Bermotifkan Alasan-alasan Agama.” Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Harry Tjan Silalahi (ketua) dan F.X. Sudiyono (sekretaris), ditegaskan: “Dengan masuknya RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan yang antara lain menentukan, bahwa Hukum Nasional Tunduk pada Hukum Agama, seperti tersebut dalam pasal 37 RUU tersebut, maka Fraksi Katolik berpendapat, bahwa RUU itu akan meninggalkan Kaidah pokok (grundnorm) tertib hukum kita, ialah Pancasila. Pun dengan maksudnya RUU tentang peraturan Pernikahan Umat Islam di DPRGR memungkinkan adanya dua sumber tertinggi bagi tertib hukum kita, yaitu Pembukaan UUD 1945 dan Wahyu Tuhan.”

Fraksi Katolik juga menyatakan, RUU tentang Perkawinan tersebut memang tidak sesuai dengan hakekat negara Pancasila. “Hal yang demikian berarti bahwa ada perubahan dasar negara. Negara tidak lagi berdasarkan Pancasila, tetapi berdasarkan Agama, hal mana cocok dengan prinsip yang terkandung dalam Piagam Jakarta.”

Jadi, begitulah sikap kaum Kristen di Indonesia tentang Piagam Jakarta. Entah mengapa, begitu kerasnya penolakan mereka terhadap hukum yang hanya mengatur umat Islam saja. Padahal, setelah UU Perkawinan No 1/1974 disahkan, yang menetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan berdasarkan agama, ternyata, Negara Kesatuan Republik Indonesia juga baik-baik saja. [hidayatullah]


ini link video dekrit preiden rahun 1959
http://www.youtube.com/watch?v=hF6HIAb0EyA

ini link video arti tauhid
http://www.youtube.com/watch?v=9pK6rXuWaLo


sumber dari:
http://swaramuslim.net/more.php?id=6310_0_1_0_M

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda