ISA AL-MASIH Part 2/7
Arti Mutawaffika (pengangkatan Isa)
Oleh : Armansyah
--------------
Lanjutan ...
--------------
Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Penafsiran diatas ini adalah penafsiran yang sangat umum sekali bisa kita jumpai dalam masyarakat Muslim kebanyakan (mainstream) meskipun sekali lagi ini bukan satu-satunya penafsiran yang ada.
Sayangnya Departemen Agama RI sehubungan dengan Surah an-Nisa' ayat 157 telah mencampuradukkan terjemahan tersebut dengan pemahaman atau penafsiran mayoritas yang ada sebagaimana bisa kita lihat dalam al-Qur'an dan Terjemahan mereka berikut ini :
Dan karena ucapan mereka : "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, TETAPI (YANG MEREKA BUNUH IALAH) ORANG YANG DISERUPAKAN DENGAN 'ISA BAGI MEREKA.”
Ada ketidakjujuran pada terjemahan tersebut, dimana tim penterjemah Departemen Agama RI telah melakukan interpolasi ayat, khususnya adanya penambahan yang bisa membuat arti ayat tersebut menjadi berbeda.
Padahal arti kata Syubiha lahum adalah samar, penyamaran atau disamarkan kepada mereka (maksud mereka disini merujuk pada orang-orang yang melakukan penyaliban itu yaitu tentara Romawi dan para Rabi Yahudi).
Bagaimana bisa sampai Departemen Agama RI menterjemahkan istilah penyamaran menjadi orang yang diserupakan dengan 'isa ?
Adalah syah dan lumrah saja bila para penterjemah itu berkeyakinan Nabi Isa tidak disalib dan masih hidup dilangit sampai sekarang dan kelak akan turun lagi kebumi ini. Namun secara obyektif pemandangan ini tidak bisa dijadikan terjemahan dari kata Syubiha lahum karena dia hanya berbentuk penafsiran dan bukan arti dari kata Syubiha lahum itu sendiri.
Adapun terjemahan yang seharusnya adalah sebagaimana dituliskan pada bagian atas yang akan kita tuliskan lagi :
"Dan perkataan mereka: 'Bahwa kami telah membunuh 'Isa al-Masih putera Maryam, utusan Allah', padahal tidaklah mereka membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi disamarkan kepada mereka. Orang-orang yang berselisihan tentangnya selalu dalam keraguan mengenainya."
Bagaimana cara penyamaran ini sebenarnya terjadi itulah titik awal timbulnya dua pendapat tadi, bahwa ada yang berpendapat penyamaran dilakukan terhadap diri Isa al-Masih dengan proses substitusi wajah Yudas dan ada pula yang berpendapat bahwa penyamaran itu dilakukan dengan membuat Isa al-Masih seolah berhasil dibunuh padahal beliau hanya dipingsankan oleh Tuhan yang akhirnya disembuhkan oleh salah satu murid rahasianya sebagaimana kisah-kisah ini bisa ditemui didalam beberapa kitab Injil umat Kristen.
Lebih jauh lagi, ulama yang berpendapat penyamaran itu berdasarkan substitusi wajah dan perawakan Yudas iskariot mendasarkan pula kajiannya terhadap ayat berikut :
Ketika Allah berkata: "Hai 'Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu serta akan membersihkan kamu dari mereka yang kafir..." (QS. 3:55)
Lagi-lagi para mufassir Islam berbeda pendapat mengenai ayat diatas.
Perbedaan tersebut berawal dari penterjemahan ayat "Tawaffa" (mewafatkanmu).
Makna dari "Tawaffa" adalah "Imatah" (mematikan).
Kata "Tawaffa" tidak menunjukkan waktu tertentu dan juga tidak menunjukkan bahwa kematian itu telah berlalu, namun Allah Swt mewafatkannya kapan saja. Yang jelas tidak ada dalil bahwa waktunya telah berlalu.
Mengenai bersambungnya kata "Mutawafika" dengan kata "Warofi'uka" tetap tidak menunjukkan satu hubungan yang sifatnya berurutan. Sejumlah ahli bahasa sepakat berpendapat bahwa kata sambung /wau/ itu tidak memberi faedah urutan waktu dan tidak pula Jama' (mengumpulkan) akan tetapi memberi faedah Tasyrik (keikutsertaan).
Hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah yang menyatakan penciptaan langit dan bumi, terdapat beberapa ayat yang menyebutkan penciptaan bumi lebih dahulu seperti dalam Surah Al Baqarah 29 dan surah Thaha 4. Akan tetapi terdapat lebih banyak ayat2 dimana langit-langit disebutkan sebelum bumi (Surah Al A'raaf 54, Surah Yunus 3, Surah Hud 7, Surah Al Furqaan 59, Surah As-sajadah 4, Surah Qaf 38, Surah Al Hadied 4, Surah An-Naazi'aat 27 dan Surah As Syams 5 s/d 10).
Jika kita tinggalkan surah An-Naazi'aat, tak ada suatu paragrafpun dalam Al Quran yang menunjukkan urutan penciptaan secara formal.
Ditinjau secara langsung kedalam bahasa arab yang terdapat hanya huruf /Wa/ yang artinya "dan" serta fungsinya menghubungkan dua kalimat. Terdapat juga kata "tsumma" yang berarti "disamping itu" atau "kemudian dari pada itu". Maka kata tersebut dapat mengandung arti urut-urutan. Yaitu urutan kejadian atau urutan dalam pemikiran manusia tentang kejadian yang dihadapi. Tetapi kata tersebut dapat juga berarti menyebutkan beberapa kejadian-kejadian tetapi tidak memerlukan arti urutan-urutan.
Bagaimanapun periode penciptaan langit-langit dapat terjadi bersama dengan dua periode penciptaan bumi.
Didalam Al Quran, hanya terdapat satu paragraf yang menyebutkan urutan antara kejadian-kejadian penciptaan secara jelas, yaitu antara ayat 27 s/d ayat 33 Surah An-Naazi'aat.
Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit [planet-planet] itu ? Allah telah membangunnya, Dia meninggikan bangunannya [mengatur jarak orbit masing-masing] lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap, dan menjadikan siangnya terang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan darinya air, dan tumbuh-tumbuhannya. Dan tenaga alamiah dipancangkan-Nya dengan teguh, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu."
(QS. 79:27-33)
Perincian nikmat-nikmat dunia yang Allah berikan kepada manusia, yang diterangkan dalam bahasa yang cocok bagi petani atau pengembara (nomad) didahului dengan ajakan untuk memikirkan tentang penciptaan alam. Akan tetapi pembicaraan tentang tahap Tuhan menggelar bumi dan menjadikannya cocok untuk tanaman, dilakukan pada waktu pergantian antara siang dan malam telah terlaksana.
Jelas disini bahwa ada dua hal yang dibicarakan: kelompok kejadian samawi dan kelompok kejadian-kejadian dibumi yang diterangkan dengan waktu. Menyebutkan hal-hal tersebut mengandung arti bahwa bumi harus sudah ada sebelum digelar dan bahwa bumi itu sudah ada ketika Tuhan membentuk langit.
Dapat kita simpulkan bahwa evolusi langit dan bumi terjadi pada waktu yang sama, dengan kait mengkait antara fenomena-fenomena. Oleh sebab itu tidak perlu pula kita memberi arti khusus mengenai disebutkannya kata bumi sebelum langit atau langit sebelum bumi dalam penciptaan alam. Tempat kata-kata tidak menunjukkan urutan penciptaan.
Bertolak dari sini, maka ayat yang berbunyi :
Izqolallahu ya'Isa Inni mutawaffika warofi'uka, Artinya : Ketika Allah berkata: "Hai 'Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu, bisa juga bermakna demikian :
Izqolallahu ya'Isa Inni rofi'uka illa wamutawaffika, yang artinya menjadi : Ketika Allah berkata: "Hai 'Isa ! Sesungguhnya Akulah yang mengangkatmu kepadaKu dan yang mewafatkanmu.
Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan bahwa kata "Mutawafa" adalah mati dalam arti tidur untuk diangkat kelangit, sehingga ayat tersebut bermaknakan "Inni munimuka warofi'uka Illa" (Sesungguhnya Aku menidurkanmu dan mengangkatmu kepadaKu)
Hal ini juga berdasarkan dalil bahwa didalam AlQur'an juga terdapat pemutlakan kata wafat untuk makna tidur, seperti dalam firman Allah :
Wahualladzi yatawaffakum billayli waya'lamuma jarohtum binnahari
Dan Dialah yang memegang/menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari.
(QS. 6:60)
Allah memegang jiwa-jiwa ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; lalu ditahanNya jiwa yang telah ditetapkan kematiannya dan dilepaskanNya yang lain sampai satu masa yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
(QS. 39:42)
Didalam AlQur'an dibenarkan memutlakkan kata wafat untuk tidur. Jika demikian bisa jadi diangkatnya Nabi Isa putra Maryam itu dalam keadaan tidur sebagaimana dikatakan oleh Al Hasan Basri.
Penafsiran lainnya lagi datang dari Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatadah bahwa ia berkata: Ini termasuk masalah muqaddam dan muakhkhor atau mendahulukan kata yang datang belakangan dan mengakhirkan kata yang datang lebih dahulu.
Jadi firman Allah tentang wafatnya Isa itu bisa diartikan menjadi :
Rofi'uka wamutawaffika
Kami mengangkatmu dan mewafatkanmu
Dia mengangkatmu (ke planet bumi lain) lalu menurunkanmu (kembali keplanet bumi sekarang) dan mematikanmu sebelum hari kiamat, agar kamu menjadi salah satu tanda hari kiamat tiba.
Jadi faedah menjadikan Isa putra Maryam sebagai tanda hari kiamat sebagai pemberitahuan bahwasanya diangkatnya Isa kelangit itu tidaklah menghalangi kematiannya.
Selanjutnya penafsiran lain, kata "Mutawwafa" adalah isim fail (nomina verbal) dari kata kerja "Tawaffahu", sehingga dapat diartikan "Jika ia menggenggamnya dan menghimpunnya kepadanya".
Ibnu Qutaibah menafsirkan dalam kitab Gharibil Qur'an bahwa menggenggamnya dari bumi tanpa harus mematikan. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari berkata: Kita sudah ketahui bahwa jika Allah mematikannya, maka tidak mungkin ia mematikannya sekali lagi lalu mengumpulkannya menjadi dua mayat.
Sehingga penafsiran ayat itu menjadi :
Wahai Isa, sesungguhnya Akulah yang menggenggammu dari bumi dan yang mengangkatmu kepadaKu serta yang mensucikanmu dari orang-orang kafir yang mengingkari kenabianmu.
Syaikh Muhammad Jamil Zainu, seorang ulama Mekkah dan merupakan staff pengajar di Daarul Hadis Al Khairyah Mekkah mengatakan bahwa semua penafsiran tersebut adalah shahih, namun ia sendiri lebih condong kepada penafsiran yang terakhir, yaitu Yang menggenggam diri Isa dalam keadaan hidup didunia, bukan dalam keadaan mati dan juga bukan dalam keadaan tidur.
Sementara ayat : "Inni mutawaffika warofi'uka Illa" merupakan penjelasan tentang cara wafatnya.
Kata "Tawaffa" juga berarti "menyempurnakan, menerima, mengambil, menggenggam", dalam konteks "mematikan" terdapat dalam surah Ali Imran ayat 3:193
Watawaffana ma'al abrori
"...dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang baik."
Dengan arti menyempurnakan pahala, terdapat dalam surah Ali Imran 3:57
Wa ammalladzi na amanu wa'amilussolihati fayuwaffiyahum ujurohum
"Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, maka Allah menyempurnakan pahala bagi mereka..."
Dengan arti menerima/mengambil/menggenggam terdapat dalam surah Az-Zumar 39:42
Allahuyatawaffal anfusahina mawtiha wallati lamtamutfi manamiha
"Allah menerima/mengambil/menggenggam jiwa-jiwa ketika matinya dan yang tidak mati sewaktu tidurnya..."
Dan "Tawaffa" dengan makna "menyempurnakan janji" bisa dilihat dalam surah Ali Imran ayat 3:55 yang kita bicarakan:
Izqolallahu ya'Isa Inni mutawaffika warofi'uka,
Ketika Allah berkata: "Hai 'Isa ! Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan akan mengangkat kamu kepadaKu...
Dalam Bible [Matius 26:36-40] diterangkan, sewaktu Jesus [Isa Almasih] ditaman Getsemani dengan para sahabatnya, Jesus mengetahui kaum Yahudi akan membunuhnya, maka Jesus berdoa agar diselamatkan dari pembunuhan dengan cara disalibkan, karena Jesus tahu bahwa tergantung diatas salib itu adalah terkutuk [Galatia 3:13].
Dan ayat Ali Imran 3:55 itu diwahyukan kepada Isa Almasih untuk menenangkan beliau yang berarti "Sesungguhnya Aku menyempurnakan janjiKu kepadamu dengan mengangkatmu [menyelamatkan jasad dan Jiwamu] kepadaKu dan membersihkanmu [memuliakanmu] dari orang-orang kafir serta menjadikan para pengikutmu [kaum Hawariyin] diatas orang-orang kafir hingga hari kiamat."
Dengan penafsiran seperti ini maka jelas bahwa Isa Al-masih tidak tersalibkan.
Lalu bagaimana dengan penafsiran bahwa Isa al-Masih memang sudah wafat dalam arti sebenarnya ?
Para ulama yang membela paham ini tidak merubah-rubah arti dan urutan dari firman Allah yang mengatakan bahwa pengangkatan terjadi setelah kewafatan... dimana Allah lebih dahulu mewafatkan Isa, dan selanjutnya mengangkatnya.
Kalimat Ini mutawaffika wa rafi'uka tidak bisa dirubah menjadi Inni rofi'uka dan wamutawaffika... apalagi merubah Inni mutawaffika menjadi Inni munimuka .... (Aku mewafatkan engkau) ditafsirkan dengan Aku menidurkan Engkau.
Kata hubung waw (dan) dalam ayat ini tidak bisa tidak harus dipahami apa adanya dimana dia menunjukkan adanya tartib atau urutan dalam waktu, bahwa pertama Isa telah diangkat, kemudian baru ia akan dimatikan.
Adanya penafsiran yang membuat kalimat ini bertukar tempat dimana "waw" tidak menunjukkan urutan (tartib) dalam ayat ini, dan bahwa rafi'uka (Aku meninggikan engkau) adalah lebih dulu dan mutawafifika ( Aku akan matikan engkau) adalah kemudian, terpaksa akan menyebabkan firman-firman Allah perlu dirubah -sebagaimana halnya orang-orang Yahudi yang merubah-rubah perkataan-perkataan dari tempatnya dan ini jelas sangat tercela didalam Islam.
Ungkapan muttawaffika harus diartikan bahwa Aku akan lindungi engkau dari mati terbunuh oleh kaum itu dan akan menganugerahi engkau umur panjang yang sudah ditetapkan bagi engkau, dan akan membuat engkau mati secara biasa (wajar).
Kata rafi'uka ilayya (mengangkat engkau kepadaKu) bisa ditarik persamaan dalam beberapa ayat al-Qur'an lainnya, seperti : "Rumah-rumah yang diperintahkan Allah supaya mereka diangkat (turfa'a)" dalam surah 24:36 atau "Dan amal salih yang akan dia angkat(yarfa'ahu) dalam surah 35:10. Atau juga "Sekiranya Kami mau, kami tentu akan mengangkatnya (larafa'nahu)
dengan itu, tetapi ia cenderung ketanah" sebagaimana dijumpai dalam surah 7:176 serta "Allah akan mengangkat (yarfa'i) orang-orang yang beriman dari kamu." pada surah 58:11.
Selain itu, bisa juga ditarik persamaan arti ayat ini dengan beberapa sabda Nabi seperti : "Dengan Al-Qur'an ini Allah akan mengangkat (yarfa'u) beberapa orang merendahkan yang lainnya" - Riwayat Ibnu Majah. Juga ada dikemukakan bahwa kata kerja itu juga digunakan orang Muslim dalam shalat hariannya Allahumarfa'ni (Ya Allah, angkatlah aku).
Dengan demikian, penggunaan kata rafa'a tidak selalu harus dalam arti harafiayah melainkan bisa juga dalam arti kiasan yaitu dengan memberikan kedudukan, kehormatan dan martabat yang tinggi disisi Allah.
Apalagi dalam kasus Isa al-Masih ini juga bisa dijumpai ayat lainnya yang secara tegas mengisyaratkan akan sudah wafatnya Isa al-Masih sekarang ini (artinya dia sudah wafat sebelum Muhammad lahir dan diutus menjadi Nabi).
" Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi sesudah Engkau wafatkan aku (tawaffaitani) Engkaulah yang menjadi penjaga atas mereka, dan Engkau menjadi saksi tentang segala sesuatu " (5: 117).
Maksud ayat ini Isa al-Masih berlepas tangan terhadap umatnya yang apabila setelah kematiannya mereka berbalik murtad dan kafir dari apa yang sebelumnya sudah ia ajarkan kepada mereka.
Kata Mutawaffi berasal dari kata tawaffa.
Didalam bahasa Arab kalimat tawafallahu Adaman adalah berarti... Tuhan telah mengambil nyawa Adam...... maksudnya Tuhan telah mematikan si Adam.
Akhirnya, ayat yang bercerita mengenai penyaliban dan pengangkatan dimaknai sebagai berikut :
"Tidaklah mereka (...berhasil) membunuhnya dan tidaklah pula mereka menyalibnya (... dalam arti sebenarnya), melainkan disamarkan (...kejadian pembunuhan dan penyaliban itu) kepada mereka, dan mereka yang berselisih tentang itu berada dalam keadaan ragu tentang itu; mereka tidak punya pengetahuan tentang itu dan hanya mengikuti suatu dugaan, dan (dugaan) itu tidak diobah mereka menjadi kepastian" - Qs An-Nisaa 4: 157.
Bagaimana kesangsian kaum Yahudi tentang matinya Nabi Isa diatas salib dapat dilihat dalam Injil. Rasa heran Pilatus tentang berita Yesus sudah mati, sangat pendeknya masa Yesus diatas salib untuk menyebabkannya mati, dan tidak dipatahkannya kaki Yesus seperti yang dilakukan terhadap dua pencuri yang sama-sama disalib dengan Yesus, adalah beberapa hal yang menimbulkan kesangsian pada kaum Yahudi tentang meninggalnya Yesus diatas salib.
Kata Ma salabuhu (juga tidak meyalibnya) memiliki akar kata salaba yang berartikan membakar suatu barang hingga hangus atau mematikan seseorang dengan cara yang sudah dipastikan kematiannya. Sehingga bila disebutkan bahwa kaum Yahudi tidak berhasil menyalib Isa al-Masih maka disini yang dimaksudkan bahwa Isa tidak benar-benar mati dan tersalib sebagaimana dugaan mereka.
Kata Syubbiha lahum (penyamaran) adalah suatu peristiwa dimana kejadian ini kelihatan serupa dengan seorang yang disalib bagi mereka jadi tegasnya disini peristiwa penyaliban yang diserupakan ... bukan orang lain yang diserupakan bagi mereka apalagi sampai mengadakan substitusi antara Isa dengan Yudas Iskariot.
Dalam riwayat-riwayat Injil bisa kita temukan bahwa malam pasca penyaliban itu tubuh Isa yang luka-luka itu diturunkan dari atas kayu salib oleh Yusuf, salah satu muridnya yang kaya lalu diletakkan dalam sebuah goa (Matius 27:57 s/d 60) dan dibantu oleh Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome mereka membeli rempah-rempah dan meminyaki tubuh Isa yang luka-luka itu (Markus 16:1), disini besar dugaan bahwa mereka tahu bahwa saat itu Isa al-Masih belum mati dan mereka berupaya untuk mengobati luka-luka penyaliban dengan kedok mempersiapkan upacara kematian bagi Isa sehingga tidak dicurigai oleh orang-orang Yahudi.
Kejadian ini memang akhirnya menaruh syak wasangka dari sejumlah pemuka Yahudi dan Farisi pada keesokan harinya (jadi ini terjadi setelah Isa diberi rempah-rempah dan minyak tadi) dan para pemuka Yahudi dan Farisi ini meminta kepada Pilatus agar goa tempat Isa disemayamkan itu dijaga dengan ketat (Matius 27:62 s/d 66).
Hari minggu paginya pintu goa itu terbuka melalui suatu peristiwa alam gempa bumi yang dicampur mitos keberadaan malaikat (Matius 28:2) dan ini dibuktikan dengan adanya riwayat lain yang sama sekali tidak menyebutkan mengenai malaikat tetapi orang berjubah putih (Markus 16:2 s/d 8) yang memberikan informasi bahwa Isa sudah selamat dan mengabarkannya kepada murid-murid beliau yang lain.
Isa sendiri pertama kali sejak peristiwa penyaliban itu terjadi menampakkan dirinya kepada Maria Magdalena dengan menyamar sebagai tukang kebun (Yohanes 20:12 s/d 17), kemunculan Isa kedua setelah ini yaitu saat beliau menjumpai Simon Petrus, Thomas (Didymus), Nathan dan yang lainnya di Tasik Tiberias (Yohanes 21:1 s/d 4) begitupun Isa dikabarkan juga sempat menjumpai 2 orang sahabatnya yang sedang berjalan menuju kampung Emaus (Lukas 24:13 s/d 17) dan akhirnya muncul secara terbuka dihadapan ibunya serta murid-muridnya yang saat itu sedang berkabung atas kematiannya (Yohanes 20:19). Ketika mereka meragukan dirinya dan menyangkanya sebagai hantu atau arwah gentayangan, Isa al-Masih meyakinkan mereka dengan memperlihatkan tangan dan kakinya yang masih ada bekas-bekas luka-luka penyaliban dan memakan roti sebagai pertanda dirinya memang masih hidup (Lukas 24:37-43).
Sampai disini, penafsiran dari al-Qur'an mengenai penyamaran atas penyaliban dan pengangkatan derajat Isa al-Masih disisi Allah bisa kita terima secara logis dan wajar.
Anda sendiri mau ikut pemahaman seperti apa dari kedua pemahaman diatas ... ? silahkan saja ...
Bersambung Isa al-Masih 3 : Isa al-Masih menolak disalib
Posting Komentar